Sabtu Pahing, 21 Desember 2024
Dalam banyak kisah, seorang calon raja diwajibkan untuk menggelandang sebagai rakyat biasa tanpa diberi bekal yang cukup. Tujuannya untuk mengetahui kondisi yang sebenar-benarnya di tengah masyarakat. Itulah awal mula munculnya ritual topo ngere atau memiskinkan diri sendiri. Ada beberapa alasan mengapa calon raja harus melakoni ritual topo ngere yakni selain untuk mengetahui kondisi rakyatnya secara langsung ritual, topo ngere juga dimaksudkan untuk melatih diri calon raja agar mampu menahan lapar dan bisa tetap survrve (bertahan hrdup) di tengah keterbatasan. Jika dia lolos dari ujian topo ngere, dipastikan doa akan menjadi raja yang arif bijaksana dan mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Dia pun akan menjadi raja yang sederhana, menjauhi kemewahan sekali pun hidupnya di istana.
Topo ngere juga dikenal dalam perkumpulan Shaolin. Di beberapa perguruan Shaolin, murid-murid diwajibkan untuk menggelandang ke tengah masyarakat sebagai salah satu ujian sebelum dikukuhkan sebagai Shaoiin. Mereka harus bisa membantu masyarakat dan hanya makan dari pemberian warga. Jika tidak ada yang memberi makan, calon Shaolin dilarang untuk meminta apalagi mencuri. Setelah selesai menjalani ujian ini, mereka kembali ke biara atau vihara untuk melanjutkan pelajarannya ke tingkat lebih tinggi.
Dalam perkembangannya, topo ngere digunakan untuk memenuhi syarat ritual yang berkaitan dengan kekayaan dan kepangkatan. Mereka pergi dari rumah tanpa membawa bekal apapun kecuali pakaian kumal yang melekat di badannya. Dia hanya boleh makan dari pemberian orang dan harus pergi sejauh mungkin dari kampungnya karena salah satu persyaratan topo ngere adalah tidak boleh dikenali oleh keluarga maupun kerabatnya. Pantangan ini dimaksudkan untuk menghindari si keluarga memberi makan secara sembunyi-sembunyi sehingga ritualnya batal.
Lelaku topo ngere sangat ampuh untuk meraih kepangkatan dan kekayaan. Namun saat ini pelaku topo ngere demi kepangkatan sangat jarang. Mayoritas hanya untuk kekayaan. Mereka menggelandang, menjadi pengemis di daerah lain untuk mendapatkan kekayaan. Orang-orang di daerah pantai utara Jawa, dari Tegal hingga Pemalang hingga Pamekasan, banyak yang melakoni ritual ini. Biasanya mereka pergi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Bahkan konon ada yang sampai ke Makasar dan Medan. Mereka ada yang datang sendiri, ada juga yang berkelompok. Namun setelah sampai di tempat tujuan, mereka akan tetap menyebar dalam arti tidak ngere di lokasi yang sama.
1. Mereka meiakoninya sesuai konsep awal yakni menggelandang dan bekerja suka rela dengan harapan mendapat sumbangan. Misalnya membersihkan jalan. Mereka tidak pernah meminta-minta. Diberi syukur tidak diberi pun mereka tetap melakoni pekerjaan itu karena memang tujuannya untuk ritual. Golongan ini pun melakoni hanya untuk waktu tertentu, semisal sebulan atau setahun. Setelah itu mereka kembali ke kampung dan bekerja seperti sediakala. Biasanya, orang yang sudah melakoni rituai topo ngere, meski tetap bekerja seperti sebelum menjaiani ritual, namun hasil yang didapat cukup melimpah. Jika berdagang, daganganya menjadi laris. Jika narik becak, pelanggannya akan bertambah. Setiap saat ada saja penumpang yang menggunakan jasanya.
2. Topo ngere dengan langsung mencari kekayaan. Biasanya mereka akan menjadi pengemis. Mereka mengemis daiam kurun waktu tertentu secara terus menerus. Mereka mengumpuikan hasilnya baru kemudian pulang. Tidak heran jika ketika ada razia di kota-kota besar, kedapatan ada pengemis yang memiliki uang banyak. uang itu hasil mengemis yang dikumpuikan beberapa hari, bahkan beberapa bulan. Jadi bukan dari hasil mengemis sehari. Berbeda dengan pelaku topo ngere yang pertama, pelaku kedua tidak iantas berhenti setelah pulang kampung. Mereka akan kembaii melakoni ritual itu secara tetap, pada musim-musim tertentu.
Salah satu pelaku topo ngere di Jakarta, sebut saja Dul, memiliki kebiasaan unik. Setiap hari dia datang ke sebuah jalan kecil di pinggir Kali Ciliwung di daerah Kramat. Dengan memakai pakaian sederhana, Dul akan duduk menghadap Kali Cmwung dan menadahkan tangan berharap sedekah dari pengguna jalan. Secara logika, tidak mungkin ada ada yang mau memberi uang karena rata-rata yang meiaiui jalan itu pengendara bermotor. Sangat jarang ada pejalan kaki. Namun Dul tetap bertahan “mengernis" di tempat itu sampai berbulan-bulan. Ketika ditanya, ternyata jawabannya sangat mengejutkan. Rupanya Dul tengah melakoni topo ngere dan tidak berharap mendapat sedekah dari pejaian kaki. Tempat duduknya yang menghadap ke sungai, katanya juga sudah sesuai petunjuk yang didapat sebelum melakoni topo ngere. “Katanya saya harus duduk di sini dan tidak boleh berpindah ternpat," kata Dul.
Namun Dul tidak mau menjelaskan lebih jauh ritual yang telan dijalaninya hampir satu tahun tersebut. Dia hanya sekilas menceritakan daerah asal di Jawa. Dia mengaku tidak memiliki sanak kerabat di Jakarta dan tidurnya di sembarang ternpat. Dul juga mengaku tidak tahu sampai kapan dirinya akan melakoni ritual tersebut. “Beium ada petunjuk," katanya ketika ditanya kapan akan mengakhiri topo ngerenya. Meski tidak mengesankan dirinya sebagai “orang pintar" namun belakangan ada beberapa orang yang sudah menghampiri, mengajaknya berbincang. Setelah diselidiki, ternyata orang-orang yang menghampirinya meminta sesuatu, seperti doa dan amalan tertentu.
Sejak itu Dul semakin sering mendapat kunjungan. Tentu saja orang-orang yang meminta amalan atau sekedar doa, memberi uang lumayan besar. Dalam setiap minggunya, Dul mengaku bisa mendapatkan “sedekah” antara Rp 1-2 juta dari orang-orang yang minta tolong tersebut. Lain lagi yang dilakukan Senah, sebut saja begitu. Berbekal sebuah sapu, Senah terlihat setiap pagi menyapu jalanan di daerah Gambir. Awalnya orang-orang yang lalu-lalang tidak hirau. Namun belakangan ada beberapa orang melemparkan recehan Karena simpati dengan perbuatannya.
Dalam sehari, Senah bisa mendapat uang antara Rp 20-200 ribu. Namun sejak dua minggu terakhir Senah sudah tidak terlihat lagi. Ada yang bilang aksinya dilarang oleh SatPol PP. Namun sebagian lainnya mengatakan Senah sudah pulang kampong karena “ritualnya" sudah selesai. Topo ngere juga sernpat dilakukan oleh lrwan Yusuf -ayahanda artis Marshanda, beberapa waktu lalu. lrwan menggelandang di Jalan Bangka, Mampang, Jakarta Selatan den tidur di kuburan. kasus ini sempat menjadi pemberitaan luas karena kontrasnya kehidupan lrwan dengan sang anak yang saat itu merupakan artis top atas tanah air. Namun aksi Marsnanda yang tanpa sungkan mengakui lrwan sebagai ayahnya dan kemudian mengambilnya dari panti setelah tertangkap petugas Satuan Pelaksana Pembinaan Penyandang Masal Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial Jakarta Selatan, akhirnya mendapat simpati dari masyarakat.
Demikian sekilas tentang topo ngere. Tidak sembarang orang bisa melakoninya. Dibutuhkan kekuatan fisik dan juga mental. Namun jika berhasil, mereka akan meraih kekayaan di luar perkiraan banyak orang. Ketika terjadi geger fenomena pengemis Jakarta beberapa tahun lalu, setelah dilakukan penelusuran, ternyata banyak diantara mereka yang memiliki rumah rumah mewah bahkan mobil, di kampungnya. Beberapa dari mereka bahkan sudah menyekolah anaknya hingga sarjana. Namun meski demikian, mereka tetap melakoni ritual topo ngere karena ada keyakinan, jika mereka berhenti melakoni ritual itu, kekayaannya akan lenyap.