Jumat Legi, 11 Oktober 2024


Rahasia Puasa Kaum Sufi


Manusia secara ragawi tidak berbeda dengan hewan. Manusia dan hewan sama-sama makan dan minum untuk mempertahankan hidupnya. Mereka bisa merasakan sakit, juga bisa mati. Namun, ketika kita bicara ruh, jelas sekali bahwa manusia berbeda dengan hewan. Meskipun demikian, bilamana kita tidak mengenal sejatinya diri kita sebagai manusia, kita tetap sama dengan hewan atau benda mati. Tanpa kita mengenal ruh illahi yang ditiupkan kepada diri kita, sejatinya tiada berbeda dengan hewan. 

Ketika ruh belum ditiupkan ke dalam diri manusia, maka manusia tidak berbeda dengan hewan. Malaikat pun tidak di perintahkan untuk menghormati manusia. Manusia baru disujud oleh malaikat setelah Allah SWT meniupkan ruh. Sebagaimana Firman Allah SVVT,"Maka apabila Aku telah menyempumakan kejadiannya, dan telah Aku tiupkan ruh dari Ku ke dalamnya, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud." (QS:AlHijr, 15 : 29). Dengan mendapatkan tiupan ruh dari Allah SWT, manusia menjadi makhluk sempuma dan mulia dibandingkan ciptaan Tuhan yang lainnya. 

Tata Krama Puasa Dalam tradisi kaum sufi, ritual ibadah puasa merupakan salah satu cara memenuhi kebutuhan rohani yang berkaitan dengan ruh ini. Ritual puasa yang dijalankan oleh para Sufi bukanlah sekadar menahan diri dari lapar dan dahaga sejak terbit fajar hingga Matahari terbenam, baik itu puasa sunnah maupun puasa wajib di bulan suci Ramadhan. Puasa yang sejati merupakan puasa yang dapat memotivasi pelakunya untuk meraih tujuan puasa,sebagaimana terdapat dalam Al Qur'an, Surat Al Baqarah, ayat 183 — 187: yaitu hidup bertakwa, menjadi manusia beriman, menjadi hamba yang bersyukur dan menjadi hamba yang senantiasa berada di jalan yang benar.

Wujud puasa yang tidak palsu harus memiliki dan menjalankan tata krama dari puasa itu sendiri. Tata krama dari puasa yaitu, mencegah makan, minum dan berhubungan seksual, dari mulai terbit fajar hingga masuk waktu maghrib atau terbenamnya Matahari. Karena hal ini merupakan tata krama dari ritual ibadah puasa, tentu tidak perlu tergesa-gesa mengambil makan atau minum saat tanda masuk berbuka tiba. Kebanyakan diri kita mengetahui puasa hanya pada tingkatan syariat. Sedangkan ritual ibadah puasa memiliki tujuan agar manusia mencapai akhlak yang mulia. 


Baca juga :

Orang yang hanya berhenti pada syariat, tidak akan pernah sampai pada akhlak yang mulia. Syariat hanyalah koridor atau jalan. Artinya, syariat tidak cukup hanya dilalui, apalagi berhenti di tengah jalan. Manusia yang melewati syariat itulah yang diharapkan bisa berlaku tertib, tidak bertikai di tengah jalan, dan bisa menunjukkan tata krama kellidupan yang baik. Syariat itu terikat dengan haqiqat dan haqiqat itu terikat dengan syariat. Tiap-tiap syariat yang tidak dikuatkan dengan haqiqat tidak diterima dan tiap-tiap haqiqat yang tidak dibuktikan dengan syariat pun tidak diterima pula. Syariat itu mempersembahkan ibadat kepada Allah SWT dan haqiqat itu memperoleh musyahadah daripada Allah SWT. 

Tapa

Berkaitan dengan puasa pada umumnya ritual ibadah puasa yang selama ini kita ketahui itu herus dilanjutkan dengan laku atau menjalankan tarekat yang disebut tapa atau ritual ibadah puasa laku. Tapa atau ritual ibadah puasa laku atau pun lakon ini selalu dijalankan oleh para Sufi. Ada pUn tapa atau ritual ibadah puasa lakon sebagai perwujudan syariat terdiri dari :

  • Tapa atau puasa "Ngeli". Kata "ngeli" artinya menghanyutkan diri. Yang dimaksud dalam laku atau lakon tarekat tapa ini adalah berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Dengan ritual ibadah puasa, kita diharapkan dapat hidup mengikuti kehendak Allah SWT dan kita di sebut "darma nglakoni". Dalam kosa kata Jawa "darma nglakoni" tidak berkonotasi pasif yaitu tinggal hanya menjalani. Makanya, kita hanya wajib menjalani segala yang sudah menjadi ketetapan Allah SWT.
  • Tapa atau puasa "Geniara", artinya orang yang menjalankan ritual ibadah puasa harus tidak boleh merasakan sakit hati bila dibicarakan oleh orang lain dan emosinya tidak mudah terpancing untuk marah. Maksud tujuannya agar orang yang menjalankan ritual ibadah puasa itu harus dapat menerima suatu kritikan sepahit apapun kritik itu. Kita justeru harus dapat menanggapi kritik itu. Kita harus pula dapat menanggapi dengan langkah hidup yang lemah lembut, teguh dan rahayu. 
  • Tapa atau puasa "Banyuara", yaitu orang yang berpuasa harus mampu mengendalikan ucapan dan menyaring pembicaraan serta tutur kata dari teman, saudara, ataupun orang lain yang mengingatkan kita bila perilaku kita ada yang kurang baik. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang terlatih puasa harus pandai mendengarkan orang lain. Jadi, bukan hanya pandai bicara, tetapi juga pandai mendengarkan dan perhatian. 
  • Tapa atau puasa "Ngluwat". Secara literal makna tapa atau puasa ngluwat adalah memendam diri di dalam tanah. Dan makna tapa atau ritual ibadah puasa ngluwat yang sebenamya adalah tidak membanggakan kebaikan diri, tidak memamerkan amal kebajikan dan tidak membanggakan jasa yang pemah dilakukannya. Dalam kehidupan sehan-hari, dia tetap menjaga diri dan rendah hati. Dalam mewujudkan Rukun Islam ini kita harus dapat memerangi gejolak hawa nafsu.

Laku 

Dalam menjalankan ritual ibadah puasa, kaum Sufi juga menggembleng dirinya untuk dapat mencapai kehidupan yang mulia. Di mana dalam menjalani laku spiritualnya para kaum Sufi melakukan lakon antara lain sebagai berikut: 

  • Laku jasmani. Seseorang harus berbudi pekerti yang baik, yaitu diwujudkan dengan bertindak dan bertutur kata yang baik dan berhati suci. Dengan membebaskan hati dari rasa dengki, dendam, sakit hati dan benci. Tindakan bisa dikatakan baik, bila tindakan itu dilandasi rasa sabar, rela, lemah lembut dan bertujuan untuk menciptakan manfaat bagi kehidupan. Hal ini dalam bahasa Sufi dinamakan syariat. 
  • Laku batin atau laku tarekat dijalankan dengan hati yang selalu berbuat baik. Yang dfutamakan adalah hal-hal yang baik dan terpuji. Dengan kata lain, untuk menjalani laku tarekat pada saat menjalankan ritual ibadah puasa, seseorang harus berusaha keras untuk setia terhadap kemauan baik, seperti pandai bersyukur, pandai untuk berbuat kebajikan atau perbuatan yang mendatangkan hal-hal berguna bagi manusia, makhluk hidup di sekitamya dan lingkungannya. Dalam bahasa Sufi, laku tarekat ini disebut "tahalli" yaitu menghiasi diri dengan perilaku yang terpuji. 
  • Laku jiwa, dijalankan atau dipraktekkan dengan cara mengendalikan diri di setiap waktu dan keadaan, yaitu dengan hidup sabar, tulus ikhlas serta tawakal. Inilah yang disebut laku ahli hakikat. Orang yang sudah mengamalkan atau menjalankan laku jiwa akan mewujudkan hidupnya dengan penuh toleransi, tenggang rasa dan menghargai kepercayaan dan keyakinan orang lain. Selain itu, dia juga berusaha membuat orang lain senang, termasuk dalam berhubungan dengan suami atau istrinya. Bagi mereka yang telah menjalankan laku jiwa, semua tugas akan dikerjakan dengan penuh kesabaran, kecermatan, ketenangan dan kehati-hatian. Ini merupakan bukti keteguhan batin dan kekuatan iman. Orang tersebut tidak akan goyah oleh pengaruh orang lain dalam segala bentuknya. 
  • * Laku hidup atau lakunya ahli makrifat. Ini rnerupakan puncak laku atau lakon, yaitu menjalani hidup dengan semua sifat keutamaan. Pada laku atau lakon hidup, orang tersebut sudah hidup secara hening, diam tidak terusik oleh apa pun serta jemih hati dan pikirannya sehingga yang dirasakan dalam hidup ini merupakan rasa hidup sejati. Orang yang sudah mencapai laku atau lakon hidup ini selalu merasakan yang ada dalam kehidupan ini sadar sepenuhnya dan menyadari hakikat hidup ini. Serta waspada melihat segala hal yang bisa menimbulkan kerugian atau penderitaan dalam hidupnya. 

Ritual ibadah puasa yang dijalankan oleh kaum Sufi dengan menjalankan tarekat puasa dan laku atau lakon spiritual dapat mewujudkan menjadi manusia berakhlak mulia, memiliki budi pekerti mulia yang merupakan target utama dari pada tujuan hakekat ritual ibadah puasa. Tanpa disertai tarekat puasa dan laku atau lakon spiritual dalam menjalankan ibadah puasa, baik itu puasa sunnah maupun yang wajib di bulan suci Ramadhan , maka puasa kita hanyalah sebentuk upaya menahan diri dari yang membatalkan puasa dalam rentang waktu terbit fajar hingga terbenam matahari. 

Perang Sabil 

Dengan menyertakan pola tarekat puasa dan laku atau lakon spiritual yang sangat ketat dalam melakukan kehidupan ritual ibadah sehari-hari dan ritual ibadah puasa yang di jalankan oleh kaum Sufi, maka dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menghindari percekcokan yang tiada gunanya. Yang tercipta merupakan suatu kegiatan yang dapat kita kerjakan dan sepi dari kepentingan. Itulah wujud dari pengabdian kepada Allah SWT. Jika kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan benar dan sejatinya menjalankan ibadah puasa, sebenarnya kita telah menang berperang melawan iblis. Manusia yang berperang melawan iblis yang ada di dalam dirinya merupakan perang sabil yang sesungguhnya. 

Jadi perang sabil hakekatnya bukanlah perang melawan kaum kafir. Di dalam hati kitalah perang sabil itu terjadi, lantaran kekafiran bergolak dengan hebat untuk mengalahkan niat luhur di dalam hati kita. Hasil dari penggemblengan ritual ibadah yang dilakukan oleh setiap orang yang rnelakukannya seperti yang di jalankan oleh para Sufi akan dapat menyinari akal, budi pekerti dan pikiran di dalam diri rnanusia. Ruh dan sukmanya tersinari oleh sinar Nur Illahi. Bila instrumen batin kita di terangi oleh ruh yang berasal dari Allah SWT, maka menyatulah hakikat hidup kita dengan "Zat Wajibul Mulia Ningrat", atau Allah SWT, Tuhan Yang Wajib Memuliakan alam semesta, kondisi ini disebut oleh para Sufi, "sukma menjelma sebagai hamba, hamba menjelma pada sukma, nafas sirna menuju ketiadaan, badan kembali sebagai tanah." 

Ketika sukma atau ruh dari Allah SWT yang menjelma sebagai hamba dan harnba sudah menyatu kembali pada Allah SWT, maka tuntutan nafsu akan lenyap. Begitu pula tuntutan badan jasmani. Pada kondisi demikian sang hamba akan senantiasa dipimpin langsung oleh Allah SWT, yaitu dengan meniupkan ruh ke dalamnya untuk memperkuat ruh yang sudah ada. Ruh inilah yang menjadikan cahaya yang menunjukkan ke jalan yang lurus dan benar. Namun yang terpenting bagi kita adalah riyadhah dan latihan di dalam setiap melakukan ritual ibadah baik wajib maupun sunnah tidak akan memberi faedah dan tidak akan mendekatkan diri kita kepada Allah SWT selama perbuatan kita tidak sesuai dengan syariat dan sejalan dengan sunah Nabi Muhammad SAW. 







 


SAMSARA

Samsara atau sangsara dalam agama Buddha adalah sebuah keadaan tumimbal lahir (kelahiran kembali) yang berulang-ulang tanpa henti. Selain agama Buddha, kata samsara juga ditemukan dalam agama Hindu, Jainisme, serta beberapa agama terkait lainnya, dan merujuk kepada konsep reinkarnasi.

KUNTILANAK

Sejenis mahluk halus yang dikenal di indonesia dengan ciri wanita, berambut panjang riap-riap, bergaun putih panjang, dan tertawanya melengking.




RAMALAN


Grup Telegram Dunia Gaib

belajar metafisika