Jumat Legi, 11 Oktober 2024
Saat pesawat China Airlines yang kutumpangi mendarat di bandara kaitak, hongkong, batinku berdebar hebat melihat kota eks protektorat inggris ini yang begitu megah. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi seperti menusuk awan. Selat victoria bersih kulihat jelas dari atas pesawat dan aku menyaksikan bagaimana kapal-kapal berlayar di terusan itu dengan tenang. Dengan langkah lemah aku berjalan menuju terminal utama. Di koridor kedatangan aku bertemu banyak wanita-wanita indonesia yang penuh gaya. Aku yakin bahwa para kaum hawa bangsa sendiri itu adalah tenaga kerja indonesia (TKI) yang telah berpengalaman di hongkong. Salah seorang di antaranya kutegur dan ternyata benar dari jawa. Aku memperkenalkan diriku dan menyebut tentang keinginanku selama tinggal di hongkong.
Udara negeri China pada bulan desember 2004 itu cukup dingin. Aku memakai mantel pemberian Bude Darsih di Manisrenggo Klaten bekas Pakde Harno saat bekerja di kapal pesiar Madura Damme, Belanda. Sebuah tas ransel berisi pakaian kutaruh di punggung dan besama wanita-wanita Indonesia itu aku keluar ke terminal taksi.
"ke mana tujuan Mbak?"tanya Rita, 34 tahun, TKI asal Banyuwangi, Jawa Timur, kepadaku.
"Saya sendiri bingung, saya enggak tahu mau kemana. Tapi ada alamat teman yang kupegang, tapi dia tidak boleh tau datang karena dia sedang ribut sama majikannya. Mungkin aku mencari hotel-hotel murahan yang harganya terjangkau, sampai aku dapat pekerjaan!" kataku.
Beberapa wanita TKI yang kukenal menggeleng mendengar tekadku itu. Sebab selama ini, kata mereka, tidak ada satupun TKI yang mencari kerjaan sendiri tanpa melewati agen. Semua TKI dapat pekerjaan karena agen dan diatur sejak di Indonesia. Mereka semua dibiayai oleh agen, mulai dari persiapan tehnis sampai saat bekerja di Hongkong. Nah selama bekerja, gaji mereka sebagian dipotong oleh agen sebagai biaya training, ongkos pesawat, urusan administrasi kedutaan dan biaya selama d karantina di Jakarta.
"Kami tidak ada yang jalan sendiri ke Hongkong ini seperti Mbak. Apalagi visa Mbak adalah visa kunjungan wisata, bukan bekerja. Bila Mbak dapat pekerjaan pun Mbak akan terkena sanksi, Mbak bisa dideportasi, dipulangkan lagi ke Indonesia karena dianggap pekerja liar!" desis Anna, 39 tahun, TKI asal Bantul, saat sebelum dia naik taksi kuning menuju tempat kerjanya di North Point.
Semua TKI yang kukenal menakut-nakuti aku dan jujur saja, nyalikupun menjadi ciut. Bayangkan, aku datang ke Hongkong bermodal paspor dan visa turis, sementara tujuan sebenarnya aku mau kerja mencari uang untuk hidup tiga anakku di Indonesia. Tapi untunglah, aku punya modal berbahasa Inggris fasih yang kudapat saat aku kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jayakarta di Salemba beberapa tahun lalu. Dengan modal bahasa Inggeris yang aktif itu maka ada sedikit keberanianku untuk mengadu nasib di negeri orang. Juga sedikit bahasa Mandarin yang kupelajari dari teman baikku Lannie, anak keturunan saat aku kost di daerah Tebet Barat, Jakarta Selatan. Lannie memberikan banyak kata-kata kunci dalam pembicaraan berbahasa Mandarin praktis bila kita bertemu orang Hongkong.
Tapi syukurnya, di Hongkong bahasa Inggeris justru bahasa pertama mereka dan bahasa Mandarin justru bahasa kedua. Untuk itulah, aku optimis saja merantau di negeri seribu bintang ini walau banyak ditakut-takuti oleh TKI kita. Karena aku tidak punya tujuan, maka teman-teman TKI yang kukenal meninggalkan aku di bandara Kaitak sendirian. Mereka pamit dan semua pergi ke rumah masing-masing, ke rumah majikan mereka untuk kembali bekerja setelah pulang liburan ke tanah nusantara. Sedangkan aku tiba-tiba menjadi seperti orang bingung di luar bandara, mau ke mana dan mau apa setelah mereka semua meninggalkan aku. Pada saat aku melamun di bangku panjang shelter bus, tiba-tiba ada seorang pria asal Hongkong menegurku.
"Are you waiting for some one Miss?"tanyanya. Setelah kujawab aku tidak menunggu siapa-siapa dan berniat mencari hotel murah, pria itu bersedia menemaniku mencari hotel murah yang dimaksud. Pria itu ternyata agen travel biro dan membawa mobil kantornya mengantarkan aku ke daerah Wanchai Street, tempat hotel-hotel murahan di Kowloon, Hongkong. Setelah aku mendapatkan kamar, pria itu pamit kembali ke kantornya. Saat kuulurkan uang sebagai balas jasa, dia menolak dan menundukkan tubuhnya pertanda dia hanya menolong aku yang kebingungan.
"Nama saya Tan Jin Ham, saya berasal dari Lawhon, Cina Daratan dan pernah pergi ke Indonesia sebagai turis tiga tahun yang lalu. Saya di Jawa juga ditolong orang Jawa dan saya mau membalas kebaikan itu krepada Anda yang orang Jawa!" katanya, sangat santun.
Setelah memberikan alamat dan nomor telponnya, Tan Jin Ham pergi meninggalkan hotel dan kembali ke pekerjaannya di Nathgan Road, Kowloon. Satu hari istirahat di hotel, aku mulai berkeliling mencari pekerjaan. Mulanya aku berjalan untuk mengenali daerah, angkutan umumnya, rumah-rumah makan yang cocok serta toko-toko juga pusat perbelanjaan yang bisa memungkinkan aku kerja. Di kapal Watertours yang menyeberangkan aku dari Hongkong ke Kowloon, aku bertemu wanita dari Bandung bernama Wati. Wati ternyata sudah enam tahun tinggal di Kowloon dan bekerja pada restoran antik La Ronda Hongkong. Restoran milik orang Italia bernama Roberto Shcilaci itu ternyata sedang mencari pekerja wanita diutamakan asal Indonesia.
Wati mengajak aku datang untuk audisi dan menjalani test di restoran masakan Eropah Barat itu di Furarha Hotel, Central Districk, Hong Kong. Tanggal 13 Desember aku kenal Wati, tanggal 14 Desember aku menjalani test. Di luar dugaan, juru test ku adalah pemilik restoran La Ronda sendiri yaitu Tuan Roberto Shcilaci langsung. Test yang kujalani adalah test kerapihan, kesantunan, ketekunan dan Inggris. Setelah test, aku tidak perlu menunggu lama hasilnya. Habis testing, setelah Tuan Roberto berdiskusi dengan staf nya yang lain, aku langsung dipanggil lagi ke ruang direktur dan langsung diterima bekerja. Hari itu juga gajiku ditentukan dan nilainya mencengangkan, di atas standar rata-rata pegawai restoran di Hongkong.
Bersama Wati, aku tinggal satu kamar di rumah inventaris restoran d wilayah Kimberly Road. Rumah itu menampung semua karyawati retoran milik Tuan Roberto seluruh Hongkong dan Kowloon. Sejak itu restoran makin ramai dikunjungi tamu dan bahkan tamu selalu membludak sampai restoran kekurangan tempat. Alhamdulillah, langkah pertamaku di Hongkong terlewati dengan mulus. Tidak sempat menunggu lama aku bertemu Wati dan Wati membawaku ke tempatnya bekerja. Walau belakangan timbul masalah soal dokumen keimigrasian dan visaku, akhirnya semuanya terselesaikan dengan mulus. Tuan Roberto membiayai semua keperluan administrasi itu dan semua selesai rapih daiam waktu singkat. Sejak aku mulai kerja di Lo Ronda, restoran yang tadinya sepi tiba-tiba menjadi ramai sekali. Wati sendiri terkaget melihat kenyataan itu dan Wati yakin energiku telah membawa restoran, itu pada kesuksesannya.
Bahkan banyak tamu yang terpaksa gigit jari karena tidak dapat tempat duduk. La Ronda pun menjadi perhatian pers Hongkong. Bukan saja media kuliner, tapi juga terus-terusan disorot oleh harian setempat. Seorang ahli feng shui dan hong shui kepercayaan Tuan Roberto melihat ada tanda gaib muncul dari karyawan restoran. Katanya ada seorang pekerja yang punya chi yang sangat positif, eneginya punya transmistika fa kua yang tajam yang mampu mengusir energi negatif yang selama ini ada di La Ronda. Aku dan Wati tersentak setelah ahli feng shui bernama Awe King itu menunjuk aku sebagai pembawa energi luar biasa positif itu. Dengan cara yang sangat lembut, Tuan Roberto dan Awe King menanyakan apakah aku punya suatu ilmu klenik atau benda mistik yang tersimpan dalam tasku. Sebab berdasarkan deteksi supranatural yang dilakukan Awe King, bahwa kau menyimpan suatu benda kecil yang mempunyai kekuatan gaib luar biasa.
"Katakan sejujurnya, benda apa yang Anda simpan di tas Anda dan bolehkah kami melihatnya. Setelah itu, kami akan kembalikan benda itu pada Anda!" desak Awe King, yang diangguki kepala oleh Tuan Roberto Schilaci.
Aku terkejut mendengar permintaan itu. Awe King punya ilmu yang sangat tinggi hingga dia mampu mendeteksi benda gaib yang tersimpan di tas ku yang selama ini kuanggap biasa-biasa saja. Pada saat menyongsong ajal, suamiku, Mas Bambang Sungkono memberikan sebuah batu kecil berwarna biru kepadaku. Batu akik itu dinamakan ahli batu sebagai blue safir firdausi yang berasal dari daerah Cilacap, Jawa Tengah. Mas Bambang sejak lama memegang batu itu secara turun temurun dari kakeknya, Mbah Suparjo yang memiliki ilmu linuwih di Sragen. Batu itu adalah batu yang disebut Mas Bambang Sungkono sebagai batu ajaib yang punya kharisma besar untuk berdagang. Lain dari itu, berkharisma pula untuk bekerja dalam suatu jabatan politik. Sebelum jatuh kepada Mas Sungkono. Mertuaku, Haji Suprianto, almarhum juga memegang batu itu dan beberapa kali menjadi bupati.
Sebelum meninggal, batu itu diserahkan pada suamiku dan Mas Bambang maju pesat sebagai pedagang mebel di Klaten. Usaha mebel itu maju pesat hingga menguasai pasar sampai ke mancanegara. Di tengah kemajuan usaha yang berkibar, Mas Bambang sakit keras. Mas Bambang menderita serangan jantung akut dan bolak balik operasi by pass di RS Harapan Kita Jakarta. Karena sadar tidak sanggup melanjutkan karena penyakitnya, Mas Sungkono menyerahkan usaha itu pada adik kandungnya, Aji Santoso, yang hingga sekarang terus melanjutkan usaha mebel di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah itu. Mas Bambang meninggal dunia 3 April tahun 2000 dan dimakamkan di Gondang, Klaten. Tapi sebelum meninggal, Mas Bambang memberikan batu cincin tanpa pengikat warna biru sebesar biji delima kepadaku.
"Batu ini bukan batu biasa, Ma. Mama simpan di dalam dompet mama dan dibawa ke mana saja Mama pergi!" harap Mas Bambang.
Sepeninggal Mas Bambang, Aji Santoso menguasai sepenuhnya perusahaan mebel kami. Jangankan memberikan keuntungan, memberi uang bulanan saja belakangan tidak lagi dllakukannya. Maka itu, tiga anak-anakku terlantar. Bahkan biaya sekolah mereka sangat sulit aku dapatkan. Karena permintaan mertua perempuanku, yang sudah seperti ibu kandung sendiri, aku membatalkan niat menggugat secara hukum Aji Santoso yang merampok perusahaan Mas Bambang itu. Ibu malah meminta agar saya mencari pekerjaan di Jakarta dan diberikannya aku uang Rp 100 juta sebagai modal hidup sampai mendapatkan pekerjaan. Atas restu ibuku dan mertuaku, akhirnya aku memutuskan untuk mengadu nasib di Hongkong. Teman perempuanku menjanjikan pekerjaan di negeri penuh warna ini. Sayang, Si Teman sedang bermasalah dengan boss nya hingga aku nyaris saja terlantar di Hongkong.
Karena demi biaya pendidikan anak-anak, maka buah hatiku mengijinkan aku merantau ke Hongkong. Mereka kutitipkan pada ibu kandungku dan sebagian uang dari mertuaku, ditabungkan untuk biaya hidup juga biaya pendidikan bagi mereka. Kini aku sudah di Hongkong dan bekerja di restoran besar La Ronda. Di depanku, seorang ahli feng shui dan boss besarku sedang menunggu untuk melihat benda ajaib yang ada dalam dompetku. Dengan jantung berdebar-debar, aku membuka dompet dan kuangkat batu kecil berwarna biru tua itu. Pada saat diangkat, aku kaget luar biasa. Batu itu ternyata memancarkan sinat yang terang benderang. Sinarnya tiba-tiba menerangi lampu temaram ruang kantor Tuan Roberto. Dengan perlahan batu itu kujamah lalu kuserahkan pada Awe King. Awe King langsung menarik batu itu dan tiba-tiba dia pingsan tak sadarkan diri. Tuan Roberto panik dan kaget melihat keadaan itu. Dengan cepat aku segera mengambil batu dalam genggaman Awe King yang sedang pingsan. Setelah batu diambil, Awe King siuman lagi dan bangkit. Dengan suara perlahan dia berkata bahwa batu yang kumiliki itu adalah batu megasakti, batu titipan Dewi Kwan Im dan hanya Dewi Kwan Im lah yang berhak membagikan batu luar biasa itu pada manusia yang hidup.
Tuan Roberto sampai tidak berani memegang batu itu dan memintaku untuk menyimpan kembali batu itu ke dalam dompet. Tuan Roberto mengharapkan agar aku berhati-hati merawat batu itu. Bahkan, saking yakinnya dia pada si batu, dia sampai berharap agar aku selamanya bekerja di perusahaannya.
"Batu kamu itulah yang membuat restoran ini penuh terus, restoran saya ini makin maju pesat. Untuk itu aku berharap kamu mau pula membangun usaha rumah makanku di Seoul, Korea Selatan. Di pasar I Tae Won, Seoul, saya punya tiga restoran yang megap-megap. Artinya hidup segan mati tidak mau. Maju tidak, mundur pun tidak. "Bila kau mau, gajimu dinaikkan lima kali lipat karena kamu mengawasi dan mengelola lima restoran di beberapa Negara!" pinta Tuan Roberto.
Sejak itu aku mondar mandir ke beberapa Negara dalam setiap minggu. Kadang aku di Korea, kadang di Jepang dan terkadang juga di Hongkong. Bahkan Tuan Roberto memberikanku hadiah rumah permanent di Tsamshai Road, Kowloon dan ketiga anakku dipindahkan bersekolah di Hongkong. Bahkan ibu kandungku pun, akhirnya kuajak mukim di Hongkong. Pada suatu malam, antara mimpi dan kenyataan, aku kedatangan almarhum Mas Bambang Sungkono. Mas Bambang dengan wajah cerah menemui di kamar rumahku di Tsamshai. Malam itu dia berpesan agar aku tidak ternoda pada lelaki sembarangan dan aku diminta untuk tidak menikah lagi, lalu berkonsentrasi penuh mengurus anak-anak.
"Sebaiknya Mama tidak mikir duniawi saja, tapi juga surgawi Ma. Uruslah dan hantarkan anak-anak kita pada cita-cita luhur mereka. Jadikan mereka manusia yang berguna dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa kita. Pokoknya setelah mereka meraih pendidikan tinggi di Hongkong ini, kembalilah ke tanah air dan bangun Klaten kita yang terbelakang. Bila Mama menikah, maka batu itu akan kehilangan kesaktiannya dan akan lenyap dengan sendirinya. Batu itu akan kembali kepada memilik awal, ke Mbah Suparjo di alam baka sana!"desis Mas Bambang, dalam mimpiku. Dan pertemuan supramistik itu, adalah pertemuan terakhirku dengannya. Sebab hingga sekarang aku tak lagi mendapatkan petuah dan pesan-pesan dari almarhum suamiku itu. Aku berjanji pada Mas Bambang, sampai kapanpun, aku tidak akan menikah. Dan aku siap kembali ke Indonesia setelah anak-anakku sarjana semua.