Sabtu Pahing, 21 Desember 2024
Poppo adalah sejenis ilmu hitam yang cukup mengerikan bagi suku Bugis Makassar. Zaman dahulu, Poppo sering terlihat terbang melayang bagai burung besar melintas di udara dalam keremangan malam. Ilmu menjadi Poppo biasanya digunakan untuk membawa atau memindahkan harta benda dari satu tempat ke tempat lain. Ilmu Poppo juga digunakan bagi para penggemar harta milik orang lain alias maling dengan mudah dan tidak meninggalkan jejak. Karena itu hingga saat ini belum ada kabar ada penganut ilmu Poppo yang dipenjarakan di kantor polisi.
Ada satu pengalaman di tahun 2002 dialami Yuni dan 3 rekannya Ani, Tia dan Ida. Ketika itu Yuni kelas 2 SMK di Kab. Bulukumba. Menjelang PKL (Praktek Kerja Lapangan), siswa yang rumahnya di pelosok desa harus mondok di kota agar tidak terlambat melakukan tugasnya. Ketika itu di Bulukumba belum ada rumah kost. Warga umumnya sukarela menerima bila ada yang mau mondok berhari-hari di rumah mereka. Yuni dan 3 rekannya mondok di rumah Pundewi wanita lajang yang hidup seorang diri di rumah panggungnya yang besar. Singkat cerita, tinggallah keempat siswi SMK itu dengan senangnya di kediaman Pundewi yang baik, terutama soal makanan. Pundewi sangat royal, keempat siswi SMK itu tiap hari beroleh makanan dari pemilik rumah tanpa harus lelah memasak sendiri. Semuanya sudah disiapkan dan gratis.
Suatu malam entah mengapa suasana selalu terasa sepi mencekam. Suatu malam Yuni dan rekannya terbangun dan ingin ke toilet. Ketika itu penerangan masih menggunakan lampu petromaks yang bila sudah dipadamkan akan sulit menyalakannya lagi. Karena itu Yuni dan rekannya menggunakan pelita untuk ke toilet. Tiba-tiba terdengar suara cukup jelas dari atap rumah. "hoh.. hoh.. hoh.. hoh.. hoh.." merekapun batal ke toilet. Dan karena buru-buru sembunyi di balik kelambu, pelita kecil yang seharusnya di letakkan di pojok kamar, ditinggal begitu saja depan ranjang.
Suara "hoh.. hoh.. hoh.. hoh.. hoh.." itu berhenti di atap rumah bagian depan. Yuni dan rekannya makin takut. Mereka membenamkan kepala, diam tidak bergerak. Yuni yang berbaring paling jauh dari pintu kelambu, wajahnya menghadap pada Ani, Tia dan Ida tidur membelakangi pintu kelambu yang tertutup. Terdengar langkah berjalan turun dari "Rakkeang", tempat penyimpanan barang di langit-langit ruma. Dari balik kelambu Yuni melihat bayangan wanita masuk ke balik kelambu ranjang Pundewi yang berjarak 3 meter dari ranjang Yuni.
Paginya, mereka terpaksa mencuci seprei dan menjemur kasur yang basah oleh kencing mereka semalam. Di sekolah baru mereka buka mulut soal Poppo yang membuat mereka ketakutan. Dan rupanya hanya Yuni yang melihat bayangan wanita yang melintas di depan ranjang mereka. Suatu malam, Yuni tidur lebih awal, ketika ketiga rekannya mau tidur, Yuni terjaga dan matanya tidak bisa terpejam lagi.
Tepat pukul 12 malam alarm arloji Yuni bergetar. Yuni ingin ke toilet, ingin ia bangunkan temannya untuk temani. Saat itu ada suara langkah berjalan naik ke rakkeang rumah. Spontan Yuni keluar kamar lupa keadaan sekitar. Dari celah lantai langit-langit, Yuni mengintip. Sekujur tubuh Yuni bergetar menyaksikan Pundewi melakukan ritual, Pundewi kemudian naik ke wuwungan rumah, rambut panjangnya terurai mencapai tumit. Wanita itu begitu cantik diterpa sinar bulan. Kemudian terdengar kepakan sayap, terdengar suara "hoh.. hoh.. hoh.. hoh.. hoh.." lalu terbang diiringi suara "hoh.. hoh.. hoh.. hoh.. hoh.." makin lama makin jauh.
"Pundewi ternyata penganut ilmu Poppo," desah Yuni terduduk lemas di tangga rakkeang.
Sejenak Yuni penasaran. Yuni ingin melihat apa yang ada di rakkeang itu. Yuni pun masuk dan melihat "ka'daro", batok kelapa lumayan besar yang isinya sesuatu yang seperti usus manusia. Yuni kembali penasaran. Yuni turun ke lantai bawah. Di ambilnya segenggam garam dan abu di dapur lalu ia bawa naik ke rakkeang. Garam dan abu dapur itu Yuni taburkan pada usus Pundewi dalam batok kelapa. Setelah itu Yuni kembali ke kamarnya.
Menjelang subuh, Yuni, Ani, Tia dan Ida sudah terjaga, sayup-sayup terdengar suara wanita berkata dalam bahasa Konjo "Antama mako ri katamatamannu," yang bermakna, "masuklah ke tempat semula sebagaimana mestinya." Suara itu berulang kali diucapkan diiringi isak tangis yang semakin melemah dan berakhir dengan erangan saat terdengar gema azan subuh.
Saat-saat seperti itu biasanya Pundewi sibuk menyiapkan sarapan pagi. Untuk itu Ani yang menyiapkan bahan pisang goreng, Tia mencuci piring dan Ida menyalakan api merebus air untuk membuat kopi dan teh. Ketiga gadis itu buru-buru melakukan tugasnya. Sementara itu dari balik kelambu, Yuni terisak penuh penyesalan. Subuh itu ia merapikan tempat tidur melipat selimut, menyapu seisi rumah. Ketiga rekannya tidak tahu jika Pundewi sudah tewas. Mereka mengira wanita baik itu masih pulas.
Yuni terus bersedih, ia baru sadar jika diberi garam dan abu dapur, usus Pundewi akan membengkak sehingga tidak dapat masuk kembali ke perut Pundewi. Ketika temannya mandi di sumur di belakang rumah, Yuni bergegas naik ke rakkeang, tampak olehnya Pundewi terkulai di antara buah dan bahan makanan di lantai rakkeang. Sebelum ke sekolah, Ani, Tia dan Ida memberitahu tetangga bahwa Pundewi tidak ada di ranjangnya. Di carilah Pundewi dan ditemukan jenazahnya di rakkeang. Sanak keluargapun mengurus jenazahnya.
Hari itu sepulang dari pemakaman Pundewi, Yuni ke rumah orang tuanya di Desa. Yuni menceritakan semua pada ibunya. Dan menurut ibunda Yuni, Pundewi adalah sepupu ayah Yuni. Yuni pun sedih tapi sudah terlambat dan sejak peristiwa itu Yuni dan rekan pindah mondok ke rumah famili lain hingga tugas PKL mereka selesai. Hingga saat ini rekan Yuni belum tahu jika Pundewi tantenya tewas oleh ulah Yuni. Mereka hanya tahu Pundewi si Poppo ditemukan tewas dalam rakkeang. Demikian pengalaman Yuni berdasarkan kisah nyata yang pernah dialaminya.