Jumat Legi, 11 Oktober 2024
Materi yang berlimpah, pendidikan yang tinggi dan jabatan prestisius serta status sosialnya yang mapan, ternyata tak membawa kebahagiaan. Perbedaan usia yang mencolok membuat keduanya selalu terlibat dalam pertengkaran. Kisah ini kami dapatkan dari salah seorang sahabat yang kebetulan menjadi psikiater di salah satu kota di bilangan Jawa Tengah. Tommy, 47 tahun, sejatinya adalah sosok yang tergolong sangat mapan. Namun, pendidikan yang tinggi ditambah dengan materinya berlimpah serta status sosialnya di masyarakat, ternyata tak membuatnya hidup bahagia.
la mulai merasakan keganjilan ketika menikah untuk kedua kalinya. Pernikahannya yang pertama tak sampai setahun karena, Ira, sang istri meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Mulanya, Tommy, bertekad untuk tidak akan menikah lagi untuk selama-lamanya. la menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang positif di antaranya adalah menyelesaikan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Pengalaman masa kecilnya telah membuat ia bertekad harus menjadi yang terbaik di antara keluarganya yang lain. Tommy, yang di kampungnya dikenal dengan Saptomo, hidup dan dibesarkan oleh keluarga yang tergolong kurang mampu. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, ia harus membantu orang tuanya mencari ranting-ranting kayu di hutan yang tak jauh dari rumahnya.
Ketika dianggap sudah besar, maka ia harus membantu orang tuanya menyadap nira untuk dijadikan gula. Selepas itu, sampai dengan pukul 11.00 ia membantu Mas Narto, tetangganya yang membuka bengkel motor di rumahnya. Mulanya ia hanya membersihkan bengkel dan pelbagai peralatan. Lama kelamaan, ia diberikan kepercayaan untuk membongkar, memasang dan menyetel mesin-mesin motor yang datang ke bengkel itu. Mas Narto pun amat puas dengan pekerjaannya. Dari pemberian dan bantuan Mas Narto, akhirnya, ia dapat meneruskan pendidikannya hingga tamat SLTA.
"Tom ... aku bukan mengusir," demikian kata Mas Narto pada suatu sore, "akan lebih baik kalau kamu meneruskan sekolah di kota besar," lanjutnya lagi.
"Maksud Mas Narto kuliah?" Tanya Saptomo.
Mas Narto hanya mengangguk sambil berkata, "Bekalmu sudah cukup. Kamu bisa bekerja di bengkel besar dan terkenal. Dari gajimu sendiri, kamu bisa kuliah."
Saptomo mengangguk tak mengerti. Maklum, sebagai anak yang dibesarkan di desa, sungguh tak terbayangkan olehnya jika harus kuliah di kota besar dan jauh dari orang tua serta sanak saudara. Ketika hal itu disampaikan kepada kedua orang tuanya, maka, dengan bahasa jawa yang kental, sang ibu pun berkata dengan terisak,
"Simbok ikut senang, siapa tahu, kamu bisa mengangkat derajat keluarga kita," Sang ayah, Sudarto, hanya bisa mengangguk. la merasa terpukul, sebagai orang tua tidak bisa membahagiakan atau membantu anak dalam meraih cita-citanya.
Singkat kata, setelah menimbang-nimbang, akhirnya, Saptomo pun berangkat merantau ke Semarang. Agaknya, sang Dewi Fortuna tengah dekat dengan dirinya. Seminggu kemudian, ia diterima bekerja di bengkel yang terbesar di kota itu penghasilannya, sebagian dikirim ke kampung halaman, dan sebagian lagi ditabung.
Setahun kemudian, ia pun resmi menjadi mahasiswa teknik di salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang. Tak terasa, tibalah hari yang membahagiakan keluarga Sudarto. Hari itu, Saptomo lulus dan di wisuda dengan penuh kebanggaan, keluarga itu, bahkan Mas Narto turut datang ke Semarang dan menginap di salah satu hotel.
Sang ibu dan dua adiknya hanya bisa menangis karena terharu. Mereka tak pernah menyangka, Saptomo benar-benar menjadi kebanggan keluarga. Tak cukup sampai di situ, seiring dengan itu, datang utusan dari kantor pusat di Jakarta. Selain memberikan ucapan selamat, Benny, sang utusan juga menyerahkan sepucuk surat yang berisi agar dirinya segera berangkat ke Jakarta untuk menduduki salah satu jabatan penting di perusahaannya.
"Jika Allah sudah berkehendak, maka, tak ada satu pun yang mampu meenghalanginya," demikian gumam Mas Narto yang turut berbahagia atas keberhasilan Saptomo.
Hari terus berganti, di Jakarta semua karyawan memanggilnya sebutan Tommy. Walau begitu, merasa dirinya sebagai orang jawa yang berasal dari suatu desa di jawa tengah. Itulah yang membuatnya tidak berubah. Suka menyantap makanan tradisionai dengan menggunakan daun yang dilipat. Dan beberapa waktu kemudian, Saptomo atau Tommy pun menikah dengan Sri salah seorang temannya di Semarang. Mereka bahagia tapi sayang, kebahagiaan tidak berlangsung lama.
Pada suatu hari, Sri mengalami kecelakaan dan meniggal di tempat kejadian karena motor yang dikendarainya ditabrak oleh angkutan kota yang dikemudikan dengan ugal-ugalan. Kabut duka pun menggelayuti Saptomo. Dalam hati, ia bertekad tidak menikah lagi. Biarlah cinta sucinya terkubur bersama jasad istrinya, Sri Hastuti.
Untuk mengisi waktu luangnya,Tommy pun kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ketekunan dan tekadnya pun membuahkan hasil — ia menyandang gelar doktor- hingga kemudian diminta untuk mengabdikan dirinya menjadi dosen di tempatnya menimba ilmu. Dan sejak itu, jadilah direktur teknik di perusahaan multinasional sekaligus menjadi dosen.
Seiring dengan usianya yang kian bertambah, akhirnya, Tommy tak kuasa ketika sang ibu memintanyau menikah Iagi.
"Sri akan tenang di sana, engkau tidak hidup sendiri lagi," demikiankan kata sang ibu pada suatu hari.
Tommy hanya terdiam, memang ia tak pernah kuasa menolak keinginan ibu atau ayahnya yang sargat dihormatinya itu.
"Kalau mau, simbok punya calon. Namanya Lin, anaknya Pak Wongso, yang kuliah di Jogja," tambah ibunya.
"Rasanya, walau umur kalian terpaut jauh, tapi Lin bisa mengerti dan memahami keadaanmu," imbuh sang ibu dengan penuh harap.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya, Tommy pun memutuskan untuk menikah dengan wanita pilihan ibu atau keluarganya itu. Pernikahan yang meriah pun kembali dihela Malam itu. Walau perbedaan usianya sangat mencolok, 20 tahun, namun, keduanya benar-benar tampak serasi. Semua yang datang turut mendoakan agar pernikahan keduanya kekal sampai akhir hayat.
Pacaran sesungguhnya setelah akad nikah, ternyata tak Iekang dimakan zaman. Gesekan ringan pun mulai terjadi,. Betapa tidak, Tommy adalah sosok penggila kerja, sementara, Lin masih ingin menikmati madunya cinta tanpa diganggu oleh hal-hal yang lain. Tommy coba meyakinkan bahwa yang dilakukannya selama ini adalah untuk masa depan mereka.
Tetapi, lin menepis semua itu dengan kata-kata, "Mas yang aku tuntut bukan harta, melainkan perhatianmu!".
Ternyata, sekian lama hidup dalam kesendirian membuat Tommy agak canggung dalam menjalani hidup dan kehidupan. Itulah sebabnya, kenapa, tiap hari, pasti ada pertengkaran di antara mereka. Tommy pun hanya mengambil sikap mengalah. Diam-diam, ia mendatangi seorang psikiater yang cukup kondang dan menceritakan ihwal yang dialaminya dalam pernikahannya yang kedua.
"Perbedaan usia yang sangat jauh membuat cara pandang kalian dalam menjalani hidup sangat bertolak belakang. Istri berharap selalu dibelai dan dimanja, sementara, Anda menganggap hal itu sudah tidak perlu. Karena, kewajiban sebagai suami telah Anda tunaikan dengan sebaik-baiknya bahkan berlebih," kata sang psikiater dengan tersenyum.
Sebagai orang yang berpendidikan tinggi, Tommy langsung memahami. Tapi, ada sesuatu yang masih menggelitik hatinya sehingga ia pun bertanya, "Apa bukan karena saya suka makanan tradisional dengan daun yang dilipat?"
"Maksudnya?" Tanya sang psikiater penasaran.
"Kata orang-orang tua, jika suka makan dengan daun yang dilipat keluarganya bakal tidak harmonis," jawab Tommy malu-malu.
"Itu hanya mitos. Bukankah sudah saya ungkapkan sebelumnya, semua yang terjadi selama ini hanya karena perbedaan usia yang mengakibatkan perbedaan pandang dalam mengarungi kehidupan. Lain tidak. Sebab, Pak Tommy telah memberikan yang terbaik kepada istri. Coba, sepulangnya dari sini, Pak Tommy menemani istri menonton TV dan berbincang tentang apa yang dilakukannya seharian tadi dan gunakan waktu-waktu tertentu untuk makan di luar atau rekreasi ke luar kota. Saya yakin, semuanya pasti akan berubah," papar sang psikiater panjang lebar.
Dan benar, sejak mengikuti saran sang psikater, maka, kehidupan rumah tangganya pun berubah. Tak ada lagi pertengkaran, bahkan, kini, lin sedang berbadan dua. Tommy pun tersenyum, ia amat bahagia.