Kamis Pahing, 21 November 2024
Stasiun tua memang selalu menyisakan kisah mistis di dalamnya. Demikian pula halnya dengan stasiun kereta api besar Medan. Beberbagai kisah aneh terjadi di sini. Seperti apa sajakah kisah itu...?
DSM (Deli Spoorweg Maatschappij) merupakan cikal bakal keberadaan perusahaan kereta api PT. Kereta Api Indonesia Divisi - Regional I Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darusallam. Untuk lebih mengenal perusahaan DSM ini, maka kita harus berpaling ke masa silam, yakni ketika dimulainya penanaman tembakau di Sumatera Timur. Dengan alasan bervariasi, selain di Pulau Jawa, maka di Pulau Sumatera pun dibangun jaringan rel kereta api yang tidak terlepas kaitannya dengan mulai maraknya penanaman tembakau.
Setelah disetujuinya permohonan konsesi (izin) dari pemerintah Belanda berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal untuk membangun jalan kereta api dari Belawan Medan - Deli Tua - Timbang Langkat (Binjai) oleh DSM yang merupakan perusahaan kereta api swasta Belanda di Sumatera Timur pada tanggal 23 Januari 1883, maka dimulailah proses pengerjaannya. Dibangunnya jaringan rel kereta api tersebut berdasarkan inisiatif Tuan JT Gremer selaku manajer Deli Maskapai yang menganjurkan agar sesegera mungkin dibangun jalan kereta api, sehubungan dengan perkembangan yang cukup pesat mereka yang berbisnis dalam penanaman tembakau.
Dalam bulan Juli 1883 konsesi tersebut dialihkan kepada perusahaan DSM dan lintas pertama yang berhasil dirintis oleh DSM adalah jurusan Medan-Labuhan yang diresmikan penggunannya pada tahun 1886. Pada Mei tahun 1888 seluruh lintas antara Belawan, Deli dan Binjai (Timbang Langkat) telah dapat dilalui kereta api yang mengangkut barang dan penumpang dalam jumlah terbatas.
Empat belas tahun kemudian (1902) dibangun pula jalan kereta api untuk jalur Lubuk Pakam - Bangun Purba. Dan mulai dioperasikan sekitar tahun 1904. Bersamaan dengan itu, lintas-lintas lainnya turut berkembang hingga ke pelosok-pelosok areal perkebunan. Kota Pematang Siantar dapat ditempuh menggunakan kereta api tahun 1916. Akhir tahun 1929-1937 jaringan rei kereta api hingga ke Kisaran dan Rantau Prapat siap pula beroperasi. Nah, demikian sekilas tentang sejarah perkeretaapian di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya.
Ketika kami mengadakan investigasi ke Stasiun Kereta Api Besar Medan yang lokasinya berhadapan dengan Lapangan Merdeka, beberapa orang pria yang sudah turun temurun bekerja di PT Kereta Api Indonesia sejak masih bernama DSM bercerita cukup panjang lebar tentang sejarah perkeretaapian. Suka duka kakek dan opung mereka yang bergabung dengan pekerja rodi dari Jawa bekerja sebagai tenaga paksa. Membangun rel kereta api ribuan kilometer panjangnya serta jembatan-jembatan untuk lintasan kereta api. Banyak pekerja yang mati kelaparan karena jatah makanan yang tersedia sangat minim.
Kata mereka, mandor-mandor Belanda yang mengawasi pembangunan rel kereta api itu sangat kejam dan sadis. Mereka dengan sewenang-wenang tanpa peri kemanusiaan mencambuk dan memukul para pekerja yang malas-malasan, padahal mereka dalam keadaan sakit. Biasanya mandor-mandor itu menunggang kuda dengan cambuk di tangan. Gaya mereka seperti layaknya pengembala Cowboy di Amerika. Mereka memperlakukan pekerja rodi seperti umpamanya hewan temak. Kalau mati, dibiarkan saja menggeletak di mana-mana hingga membusuk. Karena banyak pekerja yang merenggut ajal dengan tragis, banyak yang percaya; arwah-arwah para pekerja yang mati itu sering gentayangan hingga ke Stasiun Besar Kereta Api Medan.
"Saya pernah menyaksikan penampakan wujud arwah-arwah itu," cerita Pak Bondan. Pria 60 tahun ini mengaku masih dikaryakan sebagai petugas keamanan yang bertugas pada malam hari hingga pagi.
Pak Bondan berkisah, suatu malam kira-kira pukul 11, dirinya sedang duduk di peron seorang diri sambil menunggu kedatangan kereta api terakhir dari Rantau Prapat. Tiba-tiba muncul di hadapanya seorang lelaki dengan pakaian compang camping. Tubuhnya kurus kering, di bagian lengan dan kakinya terlihat luka-luka serius yang darahnya sudah mengering.
"Semula saya duga lelaki itu pengemis atau gelandangan," kenang Pak Bondan. Apa yang terjadi selanjutnya?
"Ternyata dia bukan manusia, tapi sesosok arwah yang berwujud mirip pengemis. Lelaki itu mengaku sendiri bahwa dia pernah bekerja membangun rel kereta api pada tahun 1902 jurusan Lubuk Pakam - Bangun Purba. Dan ingin membalas dendam pada mandor-mandor Belanda yang bertindak sadis pada dirinya."
Lelaki itu jelas mengatakan hal tersebut kepada Pak Bondan, yang belum menyadari kalau sosok itu adalah jelmaan arwah penasaran. Karuan, ia menganggap lelaki kurus itu hanya ingin bercanda. Begitu kereta api dari Rantau Prapat masuk, lelaki itu segera berlalu. Melangkah dua tiga langkah, terus menghilang.
"Barulah saya sadar kalau sosok lelaki itu adalah jelmaan makhluk halus," kenang Pak Bondan lagi.
Kemudian Pak Bondan juga bercerita, beberapa rekannya pernah juga mengalami kejadian yang sama. Bahkan ada yang bertemu dengan mahkluk halus yang berwujud menyeramkan, tapi mengaku sebagai arwah korban musibah kecelakaan di pintu lintasan kereta api dan jalan raya kendaraan bermotor. Jadi boleh dikatakan stasiun besar kereta api Medan ini pernah menjadi lintasan atau berkumpulnya arwah-arwah penasaran dan, mahkluk-mahkluk gaib lainnya.
Setelah berdirinya klenteng bertingkat-tingkat di Jalan Irian Barat (Kwan tio Bio) yang merupakan bangunan raksasa, keberadaan arwah-arwah gentayangan dan mahkluk halus lainnya mulai berkurang. Yang menarik, konon setiap ada upacara keagamaan di klenteng tersebut, sering terlihat cahaya putih menyorot ke arah stasiun. Katanya cahaya itu bisa membuat mahkluk gaib kepanasan, sehingga akhinya mereka meninggalkan tempat itu.
Jadi bangunan klenteng raksasa dan bertingkat-tingkat tersebut banyak yang mempercayainya turut berjasa mengusir mahkluk-mahkluk halus yang gentayangan di stasiun besar yang dibanggakan masyarakat Medan. Sejauh mana kebenarannya, tergantung pada keyakinan masing-masing. Nyatanya, sekarang ini memang tidak pernah lagi terjadi penampakan-penampakan yang membuat bulu kuduk berdiri. Sepertinya lokasi stasiun itu sudah bebas dari gangguan mahkluk gaib atau mahkluk halus lainnya.
Pada kesempatan lain, kami menginvestigasi beberapa orang mantan masinis yang sudah berusia lanjut. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa rel kereta api dengan posisi menikung tajam yang menghubungkan Medan dan Tebing Tinggi diyakini angker karena di tempat itu dulu banyak sekali pekerja yang bunuh diri karena tidak tahan menderita. Konon, pada malam-malam tertentu, misalnya Jum'at dan Selasa Kliwon, di lintasan ini sering terlihat mayat-mayat bergelimpangan di atas rel kereta api. Karena itulah para masinis terkadang harus berhenti atau berjalan pelan-pelan melintasinya. Dan pada saat melintasi kumpulan mayat jadi-jadian tersebut biasanya masinis membaca ayat-ayat Suci Al-Qur'an yang dihafalnya.
Di tempat yang sama terkadang juga ada gerbong kereta api yang keluar dari rel dan terjungkir. Itu telah terjadi 4 kali di tempat yang sama sekitar tahun 1980 hingga 1991. Sering pula muncul hantu Belanda berpostur tinggi besar menunggangi kuda hitam. Sosok misterius ini muncul dari arah berlawanan di rel kereta api. Dengan kecepatan tinggi, kuda yang ditunggangi orang Belanda itu ketika akan bertabrakan dengan lokomotif langsung melompat. lalu berlari-lari di atas atap gerbong hingga terdengar derap langkah kudanya oleh mereka yang berada di bawah.
Mereka yang sering berpergian naik kereta api malam hari tentu saja pernah mengalami hal-hal yang menyeramkan seperti ini. Misalnya saja seperti yang pernah dialami oleh Bang Somadi. Pria yang baru saja ditinggal mati istrinya ini mengenang perjalanannya suatu malam. Ya, malam itu ia berpergian naik kereta api malam ke Rantau Prapat. Ia mendapat tempat duduk di kursi No. 13A, bersebelahan dengan kursi No. 14B. Bang Somadi merasa kurang nyaman duduk di sana, karena berada dekat jendela. Dilihatnya kursi No. 14A masih kosong, maka ia pun bergeser dan pindah tempat ini.
Begitu kereta api bergerak dan berjalan, kursi No. 14B masih kosong. Belum ada yang menempati padahal dalam gerbong penumpang itu sudah penuh sesak malah ada yang berdiri. Bang Somadi sedang memikirkan nasib anak-anaknya yang balita, masing-masing usia 4 dan 2 tahun. Masih kecil sudah tidak punya ibu. Apalagi pada waktu bersamaan ia juga di-PHK oleh majikannya di perusahaan perabotan rumah tangga. Bang Somadi bingung. Istri sudah tidak punya, pekerjaan pun hilang.
Memasuki Batang Kuis, seorang bule berkebangsaan Belanda tiba-tiba saja sudah duduk di kursi No. 14A yang tadinya cukup lama kosong. Mungkin karena sedang melamun, Bang Somadi tidak menghiraukan kehadiran si Bule itu. Tak mau tahu dari mana datangnya, sosok yang terkesan misterius itu sudah berada di sana. Pria Belanda itu mengaku bemama Gilbert Roland. Tanpa basa basi ia langsung menawarkan uang yang lumayan banyak kepada Bang Somadi. Tentu saja pria pribumi yang masih berduka dan berkabung tersebut kaget dan hampir tidak percaya.
"Tapi ada syaratnya!" kata si Belanda ketika Bang Somadi bersedia menerima uang pemberiannya.
"Apa?" tanya Bang Somadi sambil terbelalak.
"Serahkan anak-anakmu padaku!"
"Oh, tidak...tidak! Saya tidak jual anak. Meskipun saya sedang susah, tapi saya tidak mau berbuat dosa. Anak merupakan titipan Tuhan yang harus saya jaga dan rawat dengan baik!"
Aneh bin ajaib! Begitu mendengar kata-kata Tuhan yang diucapkan oleh Bang Somadi, tiba-tiba pria Belanda itu berubah wujud menjadi sesosok monster yang sangat mengerikan. Tubuhnya penuh bulu dan wajahnya lebih buruk dari kera. Bang Somadi teriak minta tolong dan sesaat kemudian jatuh pingsan. Begitu siuman ia telah dikerumuni oleh penumpang lainnya dalam gerbong itu. Semuanya ingin tahu apa yang telah terjadi. Seorang pria tua langsung memastikan bahwa Bang Somadi nyaris saja menjual anak-anaknya yang masih balita dengan uang kertas palsu. Itu sering terjadi di kursi 13A dan 14A tersebut. Bahwa anak-anak balita sering dikorbankan untuk pembangunan jembatan kereta api.
Ada lagi kisah misteri yang dituturkan oleh salah orang mantan masinis kereta api lainnya. Dia berkisah, belum lama ini seorang petugas pengawas rel kereta api sedang memeriksa baut-baut yang longgar untuk diketatkan kembali agar rel tetap aman dilintasi. Ketika petugas ini sedang asyik dengan pekerjaannya, tiba-tiba terdengar suara deru kereta api dari arah kejauhan. Padahal saat itu belum saatnya jadwal kereta api melintas di situ. Suara itu semakin dekat, dan ia hanya melihat gerbong lokomotif tanpa gerbong lain di belakangnya. Lebih mengherankan lagi, tak ada asap di cerobongnya, dan tak ada seorang masinispun yang tampak dalam lok itu.
Sang petugas segera menghindar, dan membiarkan gerbong misterius itu melintas. Kecepatannya cukup tinggi, sehingga rumput ilalang dan daun-daunan di pinggir jalan rel kereta api itu seolah tercabut dan berguguran. Ketika kejadian itu dilaporkan ke atasannya, petugas ini disuruh tutup mulut. Jangan hal itu disebarkan kemana-mana. Namun mulut botol yang bisa ditutup, mulut manusia tidak mungkin. Kejadian itu beredar dari mulut ke mulut. Berbagai dugaan muncul ke permukaan. Tapi dugaan yang lebih mendekati kebenaran, bahwa lokomotif yang bisa berjalan sendiri itu adalah milik salah seorang keturunan Sultan Deli yang tewas semasa berlangsungnya Perang Sunggal. Jenazahnya ditemukan dalam lokomotif tersebut.
Ramai pula orang yang percaya bahwa lokomotif yang masih dirawat dengan baik di stasiun besar Kota Medan itu memiliki nilai magis yang sangat kuat. Ada pula yang menyebutnya sebagai "lokomotif hantu." Konon, lokomotif ini terkadang bisa bergeser sendiri dari tempatnya di parkir. Begitulah deretan kisah-kisah misteri di perlintasan stasiun kereta api besar Medan. Tentang kebenaran kisah ini tentu saja hanya Allah yang Maha Mengetahuinya.