Sabtu Pahing, 21 Desember 2024
Ibarat tanaman, cinta harus banyak dipupuk dan disiram. Bila lalai, cepat atau lambat tanaman itu akan mati kekeringan. Cinta pun begitu, bila tidak dirawat, cinta itu akan mati untuk selamanya. Demikian pengalaman cinta dari kehidupan pribadiku, satu episode cerita kasih sayang terhadap mas sigit nugraha, suamiku yang telah delapan tahun bersamaku. Dari pernikahan berumur sewindu itu, kami telah memiliki tiga orang anak yang seharusnya menjadi tali pengikat agar kami tidak terpisahkan.
Bosan, kata itulah yang tepat untuk mensahkan tuntutan ceraiku kepada Mas Sigit. Kami hidup serumah tapi tanpa cinta lagi. Kami tinggal satu kamar dan satu ranjang tapi tanpa rasa. Baik itu perasaan sayang, perasaan untuk bermesraan atau perasaan cinta. Aneh, yang terjadi pada kami adalah permusuhan, perasaan benci dan perasaan untuk saling menyakiti. Jujur saja, aku lebih senang tidur sendiri daripada ada dia di sampingku. Aku lebih senang pergi sendiri daripada harus didampingi olehnya. Terus terang, cinta kami telah selesai. Ibarat benang, benang itu telah kusut dan tidak bisa diurai lagi. Satu-satunya jalan adalah memutuskan benang itu, secara total melepaskan seinua ikatan yang ada agar hidup kami berdua menjadi lebih tenang. Ketiga anak kami seakan sepakat, menolak perceraian kami. Mereka bertiga menangis secara bersamaan dalam rapat keluarga, mengharapkan agar kami tidak bercerai.
"Mama, buanglah jauh-jauh ego Mama, janganlah Mama memikirkan diri Mama sendiri, mau bebas terlepas dari pada Papa dan tidak memikirkan kami. Bila Mama bercerai dengan Papa, kami tidak akan ikut keduanya, Kami tidak ikut Mama tidak juga ikut Papa, Kami bertiga akan memilih kabur, jangan harap Mama dan Papa akan menemukan kami, kata Lita, anak tertua kami yang sudah duduk di bangku SD kelas dua, umur tujuh tahun, yang diangguki kepala oleh Arma, enam tahun dan Adi lima tahun. Seharusnya aku tersentuh mendengar kata-kata bernada harapan dari anak-anakku ini. Seharusnya pula aku takut mendengar ancaman anak-anakku yang akan kabur pada usia mereka yang begitu muda. Tapi hal itu tidak terbersit sedikitpun di dalam batinku. jangankan mau menuruti himbauan itu, sedikit tersentuh pun tidak terjadi di dalam batinku. Begitu pula mendengar ancaman mereka, jangankan menjadi takut, rasa sedikit kuatir pun, tidak ada di dalam hatiku.
Dengan keyakinan seratus persen, aku memastikan bahwa ancaman anakku itu hanya lah sekadar ancaman. Mereka pastilah tidak serius berbicara seperti itu. Kuyakin benar, bahwa mereka tidak sanggup dan tidak berani mewujudkan ancaman mereka itu. Begitu pula dengan Mas Sigit, Mas Sigit tenang-tenang saja dan sangat dingin menanggapi hal itu. Mas Sigit benar-benar siap bercerai dan bahkan dia mengakui kepada anak-anak bahwa cintanya sudah tak ada lagi untukku. "Tapi perceraian Papa sama Mama ini bukan bercerai dalam arti terputus sama sekali, kami akan saling menelpon dan saling bertemu apalagi bila hal itu menyangkut urusan kalian. Papa akan pindah ke luar kota dan Papa akan terus menelpon dan menghubungi Mama dan kalian, walau nantinya Papa sudah menikah dengan wanita lain dan Mama telah bersuami lagi. Percayalah, hubungan Papa dan Mama akan tetap baik dan Papa akan memenuhi semua kebutuhan dan keperluan kalian!" desis Mas Sigit, dengan wajah yang tenang di hadapan anak-anak kami.
Aku pun menerangkan hal yang sama pada anak-anak, bahwa perceraian itu bukanlah perceraian mati, tapi perceraian hidup, perceraian yang masih memungkinkan bila suatu waktu kami berjodoh lagi. "Misalnya Mama tidak menikah lagi, Papa juga tidak menikah lagi, bukan tidak mungkin kami rujuk lagi karena rencananya perceraian ini digugat dengan talak satu. Bila talak satu, kami bisa menikah lagi dengan mudah. Tapi bila talak tiga, ini yang sulit, karena Mama mesti menikah dulu dengan laki-laki lain, setelah bercerai dengan laki-laki itu barulah bisa rujuk dengan Papa. Nah, besok kami akan sidang pertama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan di Jalan Ampera Raya, Kemang, yang mungkin belum bisa diputuskan oleh hakim kami bercerai. Biasanya tiga kali sidang atau empat kali sidang, barulah diputus bercerai. Jadi selama sidang di pengadilan agama, Mama akan tinggal dengan Tante Nora, Papa tinggal dengan kalian di rumah ini!" terangku. Ketiga anakku terdiam. Mereka bertiga dengan muka gundah gulana pergi meninggalkan ruang pertemuan itu. Mereka bertiga masuk kamar Lita. Ketiganya menangis di tempat tidur. Tidak lama kemudian ketiganya tertidur di kamar itu. Setelah menyelimuti tubuh ketiganya, aku pamit kepada Mas Sigit meninggalkan rumah menuju rumah Tante Nora di Permata Hijau. Mas Sigit mengangguk sambil mendekat dan mencium keningku. "Hati-hati Ma di jalan, nampaknya hujan akan segera turun, jalanan licin dan ban mobil Mama sudah botak, berisiko bila kecepatan tinggi di dalam gerimis!" pesan Mas Sigit.
Malam itu aku memacu kendaraan dengan kecepatan sedang. Mobil honda jazz merah itu kukendarai dengan tenang sambil memutar lagu-lagu rock lama dari Rolling Stones. Aku memang penggemar Mick Jagger dan lagu Lady Jane menjadi lagu kegemaran utarnaku selain Party Dolls dan I Can't Get No Satisfaction. Sebelum masuk ke rumah Tante Nora, hape ku berdering. Hendra mengajakku makan malam di Peacock Bar Hotei Sultan. Malam itu juga aku meluncur ke hotel di Semanggi itu dan makan bareng kekasih gelapku Hendra Raharja. Hendra Raharja adalah eksekutif muda yang berkarier sebagai general manager PT. Putik Belanga, suatu usaha impor hasil bumi ke Arnerika Selatan.
Perkenalanku dengan Hendra saat pria tampan ini datang ke kantorku di Departemen Perdagangan, Gambir Jakarta Pusat. Saat itu aku yang mengurus surat menyurat menyangkut ijin dagang internasional perusahaannya untuk Eropa Timur. Karena beberapa kali bertemu, akhirnya kami menjadi akrab dan berteman baik. Mas Sigit kuberi tahu tentang kehadiran Hendra ini dan tentang hubungan pertemanan kami. Mulanya aku mengira Mas Sigit akan cemburu, tetapi tidak. Bahkan dia mendukung hubungan itu karena dia sendiri sekarang dekat dengan seorang mahasiswi bernama Santi. Mas Sigit memang bekerja menjadi dosen di Universitas Trisakti, dan mengaku sudah beberapa kali tidur dengan mahasiswi bertubuh sintal itu.
Karena Mas Sigit tidak cemburu pada hendra dan aku pun tidak cemburu pada Santi, maka hubungan kami semakin intim. Hingga pada suatu hari, aku berselingkuh dengan pergi ke hotel Drill Singapura dan menginap berdua. Sejak itu cinta kami bersemi dan cintaku kepada Mas Sigit semakin layu. Walau kami tinggal masih serumah dan masih saling bertegur sapa tapi hubungan biologis sangat dingin. Aku gerah dijamahnya dan Mas Sigit gerah kusentuh. Arkian, saat itulah kami sadar, bahwa cinta kami sudah layu, kasih kami telah berubah. cinta telaki gugur dan hancur berantakan. Aku sangat mencintai Hendra Raharja dan Mas Sigit sangat mencintai Santi.
Empat kali sidang pengadilan akhirnya kami resmi bercerai. Keputusan hakim telah kami terima dengan vonis talak satu. Begitu putus cerai, aku berpelukan dengan Mas Sigit dan aku mencium tangannya yang kekar. Di luar pengadilan, mobil mercedez benz sport Hendra Raharja telah menunggu. Aku dijemput dan diciumnya di depan Mas Sigit. Tidak berapa lama aku melihat Santi menghambur menuju Mas Sigit nemeluk erat tubuh mantan suamiku itu dengan derai airmata bahagia.
Seperti tidak bisa lagi bersabar, seminggu setelah resmi cerai, Mas Sigit resmi menikah dengan Santi. Mereka merencanakan pesta besar di gedung Balai Kartini, Jakarta Selatan. Sementara aku, tidak boleh langsung menikah dengan Mas Hendra karena harus menghabiskan masa iddah, tiga bulan lebih setelah cerai baru bisa menikah secara Islam. Tidak ada satupun penghulu yang bersedia menikahkan kami sebelum masa iddah ku itu berakhir. Pada saat hari pesta pernikahan Mas Sigit yang juga mengundang aku dan Hendra, berita menakutkanku hadir secara tiba-tiba. Ketiga anak kami hilang dan tidak diketahui dimana dan ke mana mereka. Jantungku berdebar hebat dan Mas Sigit pun menjadi kelimpungan. Dicari ke seluruh rumah saudara, famili dan teman-teman mereka, tidak ada di sana. Padahal Adi, anak bungsu kami yang duduk di sekolah Taman Kanak-Kanak, masih terlalu kecil untuk diajak minggat dan anakku itu gampang sekali masuk angin. Karena undangan sudah tersebar dan biaya cukup besar telah digelontorkan, pesta pernikahan Mas Sigit terpaksa dilanjutkan juga. Dalam keadaan berduka karena ketiga anak kami hilang, Mas Sigit berusaha tersenyum walau kelihatan kecut menyambut tamu-tamunya dalam resepsi itu.
Aku jua begitu, sangat gundah gulana menghadiri pesta yang seharusnya sebagai hari berbahagia Mas Sigit itu. Hendra berkeberatan datang bersamaku dan aku datang ke acara itu dengan seorang teman anggota kepolisian yang kumintai tolong mencari ke mana tiga anak-anakku itu. Amir Syarkowi, seorang perwira muda pangkat AKP yang ahli melacak orang hilang. Dengan kemampuan eksakta kepolisian, dengan kemampuan intelejen, dengan kemampuan observasinya, aku yakin ketiga anakku dapat ditemukan. Jujur saja, aku tidak menyangka bahwa anak-anakku itu benar-benar mewujudkan ancamannya dulu. Mereka benar-benar minggat dan tidak dapat dideteksi ke mana mereka pergi. Usai pergi ke undangan Mas Sigit kami melacak ke tempat-tempat yang memungkinkan anak kami ada di situ. Tapi walau sampai tengah malam kami melacak, sejauh itu tidak ditemukan walau sehelai sapu tangan yang mereka punyai.
Laporan ke polisi akhirnya menjadi heboh, terlebih setelah laporan anak hilang di beberapa Koran ibukota dan televisi serta radio-radio. Banyak orang bersimpati kepada anak-anak kami itu, tapi sangat banyak orang terutama ibu-ibu rumah tangga yang mencaci maki kami, mengecam kami dan menghujat kami, aku dan Mas Sigit yang menafikan anak-anak, mengabaikan anak-anak demi berselingkuh. Mereka semuanya mengutuk perbuatan kami, karena ego kami masing-masing lah maka anak kami kabur. Ibu-ibu berkomentar di Koran, di radio bahkan di TV, mengutuk kami, mengecam kami dan sangat mendiskreditkan kami berdua. Semua kecaman itu akhirnya kami terima dengan lapang dada. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, kami harus menghadapi kenyataan itu dengan hati terbuka, hati ikhlas dan jiwa yang besar. Perkara kecaman, cacimaki dan bahkan kutukan, akhirnya kami jadikan cambuk serta pelajaran berharga.
Memang benar, karena ego kamilah maka anak-anak kami benar-benar nekad dan kami menjadi sangat panik. Bahkan aku diludahi beberapa ibu yang mengenal aku dari TV saking kesalnya kepadaku yang berselingkuh dan membuat anak-anak menderita. Tapi aku tidak sakit hati mensiasati perlakukan kasar itu, karena aku sadar betul bahwa mereka marah karena simpati dan empati kepada nasib tiga anakku. Aku memaafkan ibu-ibu yang telah memperlakukan aku dengan kasar. Mas Sigit pun menemui nasib yang sama, didemo oleh ibu-ibu dan mukanya diludahi serta ditimpuk dengan telur busuk. Karena polisi, dukun dan detektif partikelir gagal menemukan anak-anak dalam waktu satu minggu, maka minggu kedua setelah menghilangnya anak-anakku, aku dan Mas Sigit mendatangi kyai besar yang punya kemampuan lebih sebagai ahli "ilmu malake" atau nujum. Kyai besar ini tidak bisa langsung menerima kami. Beliau menghindar dan tidak sekalipun mau bertemu kami. "Kyai tidak mau menjumpai kalian karena tahu kalau kalian berdua ini tidak pernah memikirkan rasa sakit yang diderita oleh anak-anak. Maka itu kami mohon ma'af, bahwa kami tidak dapat mengatur pertemuan kalian dengan kyai!" kata Ustadz Syarwan, assisten kyai yang kami jumpai di pesantrennya.
"Kyai boleh membenci dan tidak menyukai kami, tapi kasihanilah ketiga anak kami, mereka harus cepat ditemukan sebelum menjadi mayat!" kataku, sambil bercucuran airmata. Mas Sigit pun bergetar dan tanpa disadari, dia pun menangis. Ustadz Syarwan terdiam beberapa saat lalu masuk kembali menemui kyai. Tidak berapa lama Ustadz Syarwan keluar membawa secarik kertas. "Kalian pulanglah sekarang ke rumah kalian tempat terakhir anak-anak berada. Kertas ini diletakkan di bawah bantal yang biasa dipakai anak-anak tidur. Tiga anak, berarti tiga bantal, disusun rapi lalu kertas ini diletakkan di bawah tiga bantal itu. Setelah sekitar sepuluh menit, ambil lagi kertas itu dan buka. Nanti ada tulisan di sana dan ikutilah perintah tulisan itu. Tapi tolong kertas ini jangan dibuka sebelum waktunya. Mengerti? Sekarang cepatlah pulang dan lakukan perintah kyai!" desak Ustadz Syarwan.
Aku dan Mas Sigit buru-buru pulang. Kami lakukan perintah itu dengan tanggap. Tiga bantal anak-anak kami susun di ranjang Lita, anak tertua dan sepuluh menit kemudian kertas itu kami buka. Subhanallah, kami melihat ketiga wajah anak kami dalam bentuk skesta dan tertera tulisan di bawah gambar mereka suatu tempat di Lebung Karangan, Indralaya, Ogan Ilir. Sebuah kawasan hutan dan danau dengan beberapa gubuk reot di sekitarnya. Di bawah gambar gubuk terdapat gambar misterius mirip kelelawar, kuping panjang dengan gigi yang bertaring. Dengan pesawat terakhir, Sriwijaya Air, kami berdua terbang ke Palembang dan langsung menuju lokasi. Dengan taksi bandara Sultan Mahmud Badaruddin kami menyusuri peta daerah Lebung Karangan dan gubuk pinggir danau itu kami temukan. Oh Tuhan, ketiga anak kami sedang berpelukan dalam keadaan kehausan dan kelaparan di gubuk tua yang atapnya semuanya bocor. Mata mereka sayu menatap kami dan mereka bertiga menangis dengan suara yang parau. Mas Sigit dan aku langsung memeluk ketiganya dan mengajaknya pulang secepatnya ke Jakarta.
Dalam hitungan detik tiba-tiba muncul nenek-nenek tua berkuping panjang, rambut putih semuanya dan memikul kayu bakar. Belakangan kami ketahui bahwa nenek itu adalah makhluk gaib yang disebut manusia Siluman Kelelawar, yang menculik anak kami di rumah kami dan membawa anak-anak terbang ke Lebung Karangan itu. Alhamdulillah, dengan bacaan ayat-ayat suci yang kami bisa bacakan berdua, nenek-nenek siluman kelelawar itu hilang dalam hitungan detik. Gubuk-gubuk lain yang ada di situ, semuanya kosong dan semua gubuk itu telah ditinggal penghuninya karena keangkeran Siluman Kelelawar. Setelah memberi makan anak-anak dan berobat ke dokter di Palembang, anak-anak kami terbangkan ke Jakarta dan mereka kembali dapat bicara normal.
Ungkapan pertama mereka adalah mengharapkan kami bersatu lagi dan hidup dalam satu rumah seperti dulu bersama mereka. Seperti pepatah pucuk dicita ulam tiba, sebenarnya hal itulah yang aku harapkan setelah aku tahu Hendra Raharja menikahi wanita iain dan aku ingin sekali bersama lagi dengan Mas Sigit dan anak-anak. Mas Sigit mengangguk dan hari itu juga melamar dan meminangku untuk dijadikan istri kedua. Kami kembali menikah dan kembali bersama dengan anak-anak. Sedangkan sebagai istri "tua", Santi menerima aku sebagai istri muda dan hubungan kami sangat baik sekali. Tiga hari dalam seminggu, Mas Sigit bersama Santi di rumah mereka di Pondok Bahar, Jakarta Barat. Sedangkan bersamaku dan anak-anak, Mas Sigit tinggal selama empat hari, dari hari jumat hingga senin pagi.
Anak-anak bercerita tentang hal gaib yang mereka alami saat mereka minggat keluar dari rumah, mereka bertemu nenek mereka, ibu kandungku yang sudah meninggal. Nenek membawa mereka jalan-jalan ke tempat yang indah sambil makan-makan yang juga enak-enak. Mereka tidak menyadari dan tidak tahu kalau mereka sudah dibawa terbang ke daerah angker tempat siluman kelelawar tinggal dan mereka ditawan selama sepuluh hari di Lebung Karangan. Setelah sadar bahwa sebenarnya nenek mereka sudah meninggal, barulah sadar bahwa ada makhluk gaib yang menyerupai ibu saya dan menculik mereka lalu membawa ke habitat gaib di danau Lebung Karangan. Makhluk itu dikatakan Ustadz Syarwan berkeliling ke manapun mencari anak-anak yang sedang sedih dan menampungnya. Makhluk itu tidak membunuh anak-anak, tapi anak-anak bisa mati lemas karena energi siluman yang sangat panas. "Maka itu, jangan dibuat anak-anak bersedih dan jagalah mereka dengan baik!" pesan Kyai yang disampaikan melalui Ustadz Syarwan.