Jumat Legi, 11 Oktober 2024
Pada zaman dahulu kala, di Pulau Halmahera terdapat sebuah kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang raja nan bijak bestari. Kala itu, rakyat hidup dengan sejahtera dan merasa terayomi. Boleh di kata, tak ada-kemiskinan di sana. Semua mudah didapat dan harganya pun terjangkau Seiring dengan berjalannya waktu, pada suatu hari, raja yang dikaruniai dengan dua anak lelaki dan seorang anak perempuan yang tengah beranjak dewasa, yakni Baginda Arif, lalu Putra Baginda Binaut dan Putri Baginda Nuri pun mangkat.
Kesedihan mengungkungi kerajaan itu. Betapa tidak, baginda mangkat dengan mendadak, hingga ia tak sempat menitipkan pesan kepada siapa pun. Termasuk kepada permaisurinya. Seperti biasa, di antara ketiga putranya, diam-diam, temyata Putra Baginda Binaut begitu berambisi ingin menguasai tahta. Padahal menurut Ibu suri dan kedua saudaranya, pemilihan pengganti raja baru akan dilakukan setelah suasana duka mulai berkurang. Entah pengaruh apa yang merasuki hati kecilnya, diam-diam, ia mendatangi patih kerajaan di rumahnya.
Dengan penuh keyakinan, Putra Raja Binaut pun berkata; "Aku harus menggantikan kedudukan ayahku!"
Sang patih tak mampu menolak kecuali mengingatkan, "Bukankah pemilihan baru akan dilakukan beberapa purnama lagi?"
"Tidak paman. Kerajaan ini harus segera menentukan siapa pengganti ayahanda," jawabnya dengan ketus.
"Itu semua tergantung pada Ibu suri," ujar sang patih berusaha mengingatkan Putra Raja Binaut.
"Ufh ..," hanya itu yang keluar dari mulut Putra Raja Binaut menandakan kekesalan hatinya sambil menoleh ke belakang kepada para pengawal setianya yang berdiri berjajar sambil membawa tombak dan pedang serta beberapa pundi-pundi yang lumayan besar.
"Paman terimalah ini sebagai bukti keseriusanku. Jika paman mendukung, maka, paman akan tetap menjadi patih dan hadiah bakal kutambahkan lagi". "Pikirkan baik-baik paman," demikian ujar Putra Rtaja Binaut sambil meninggalkan sang patih yang tetap berdiri dengan pandangan kosong.
Hatinya langsung terkesiap, ternyata, pundi-pundi itu berisi perhiasan dan batu ratna mutu manikam. Tak perlu berlama-lama, melihat hadiah yang didapat dan janji bakal tetap menduduki jabatannya, pada suatu hari, sang Patih pun memerintahkan beberapa pengawal kerajaan kepercayaannya untuk menangkap ibu suri, Baginda Arif dan Putri Baginda Nuri. Untuk menjaga perasaan ibu suri yang tak ingin pertumpahan darah terjadi, Baginda Arif pun hanya pasrah ketika ketiganya digelandang dan dijebloskan ke penjara bawah tanah.
"Sungguh tak disangka, ternyata, Kanda Binaut kejam! Tamak!" Demikian umpat Putri Baginda Nuri dari balik deruji penjara.
Seperti biasa, sambil memeluk anaknya, ibu suri pun membisikan kata dengan lembut kepada Putri Baginda Nuri; "Ingat pesan ayahmu. Kita harus sabar dan tawakal jika tengah menghadapi cobaan. Yang benar akan tampak benar dan yang salah akan tampak salah."
Alih-alih tegar, sejatinya, hati ibu suri pun sangat terpukul melihat dan merasakan kelakuan Putra Raja Binaut kepada diri dan kedua saudaranya. Sementara, di luar sana, dengan penuh kejumawaan, Putra Raja Binaut pun mengumumkan bahwa ibu suri dan keduanya telah hilang karena mendapatkan musibah di laut dan saat itu pula, ia meminta kepada seluruh pembesar istana agar segera melantiknya menjadi raja. Karena sang patih telah ada dalam genggamannya, maka, penobatan pun langsung dilakukan. Pesta yang mewah dan meriah digelar selama 7 hari 7 malam. Rakyat pun bergembira, mereka yakin, Baginda Raja Binaut akan memerintah sebijak almarhum ayahnya.
Usai penobatan, ketamakan dan kecongkakkan Baginda Raja Binaut pun mulai tampak. Bahkan, ia mengganggap dirinya sebagai raja yang paling berkuasa di muka bumi ini. Tanpa mempertimbangkan keadaan rakyatnya, ia pun memerintahkan mereka untuk membangun istana yang megah. Tak berhenti sampai di situ, kini, rakyat pun dikenakan berbagai macam pungutan. Mulai pajak hasil bumi, pajak hewan, sampai pajak tanah. Tak pelak, diam-diam, rakyat pun mulai herani mengumpatnya.
"Berbeda dengan ayahnya, temyata, Raja Binaut adalah penindas dan penghisap darah rakyatnya," demikian bisik salah seorang penduduk pada yang lainnya.
Yang lain hanya mengangguk tanda mengamini. Bahkan yang semula diam, mendadak ikut menambahkan; "Kita mulai hidup di zaman kegelapan. Mau membantah peraturan, risikonya masuk penjara". "Yah mau apa lagi, jalani saja," katanya menambahkan dengan nada putus asa.
Seiring dengan berjalannya waktu, Bijak, demikian nama salah seorang pelayan istana berhasil melarikan diri dan membentuk suatu pasukan yang tangguh untuk melawan raja. Dalam waktu singkat, pegawai-pegawai istana yang membelot pun segera bergabung dengan pasukan ini tujuannya satu, membebaskan ibu suri dan kedua putranya! Rencana pun disusun. Pada waktu yang telah ditentukan, pasukan yang dipimpin Bijak pun berhasil menyusup ke istana dan membebaskan ibu suri beserta dengan kedua anaknya. Dan ketiganya langsung dibawa ke hutan.
"Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian," demikian ungkap ibu suri di depan pasukan yang dipimpin Bijak.
"Kami mohon izin untuk menyerang istana," demikian kata Bijak tegas tapi tanpa meninggalkan sopan santun.
Ibu suri hanya tersenyum sambil memandang sayu ke arah dua putranya, setelah menenangkan diri, dengan penuh wibawa, ia pun berkata,
"Tidak perlu. Biarlah untuk sementara kita tinggal bersama-sama di sini. Ingat jangan ada lagi darah yang tertumpah. Mari kita yakini, ketamakan, kebengisan, iri dan dengki bakal kalah dengan doa yang disampaikan kepada Tuhan!" Akhirnya, semua dapat menerima keputusan ibu suri dengan hati yang lapang.
Sementara, di kerajaan, tindakan Raja Binaut pun makin sewenang-wenang. Sang patih yang semula mendukungnya, kini jadi muak. Tapi apa daya, ia pun tak kuasa menentangnya. Jika nekat melawan, selain dipecat, ia juga bakal dijebloskan ke dalam penjara. Boleh dikata, kala itu, penjara penuh sesak dengan rakyat yang menentang perintah Raja Binaut. Namun tak disangka, bencana alam pun terjadi. Sebuah gunung meletus dengan sangat dahsyat. Lahar panas mengalir ke segala penjuru. Termasuk istana Raja Binaut. Bahkan, sebagian besar lahar panas telah meluluhlantakkan bangunan istana yang baru saja selesai dibangun dari hasil keringat rakyat.
Raja Binaut pun kebingungan mencari perlindungan. Ia lari pontang-panting tak tahu arah tujuan. Anehnya, lahar seolah-olah mengjar kemanapun Raja Binaut lari.
"Tolong-tolong!" Teriak Binaut. Kini, sedikit demi sedikit, lahar panas itu mulai menempel di kaki Binaut. Seketika itu juga kakinya melepuh dan kulitnya terkelupas. Ia berusaha untuk tidak berhenti berlari. Tapi, lahar panas itu mulai menjalari tubuhnya. Ia sangat tersiksa. Ketika mengalami siksaan yang teramat pedih itu, ia ingat akan ibunya. Ia pun menjerit memohon ampun.
"Ampuni aku, bu! Maafkanlah aku, bu! Aku sudah tidak kuat menanggung penderitaan ini! Aku tidak akan mengkhianati ibu, kakak Arif dan adik Nuri lagi. Maafkanlah aku! Ibu! Ibu ...!" Teriak Binaut karena kesakitan.
Namun teriakan itu hilang perlahan-lahan dan akhimya ia pun meninggal. Jasad Binaut terdampar di sebuah pantai. Seketika itu juga tempat itu berubah menjadi sebuah Tanjung. Konon, di tanjung itu sering terdengar orang menangis meminta belas kasihan karena mengalami siksaan yang amat sangat. Kini tempat terdamparnya Binaut itu dinamakan Tanjung Menangis. Sifat iri, dengki dan tamak akan membawa celaka dan pembalasan setimpal. Karenanya jauhilah sifat-sifat tersebut.