Kamis Legi, 31 Oktober 2024
Sejak kecil, kami hidup menderita. Ayah dan ibu kami telah meninggal dunia karena suatu penyakit dan tidak meninggalkan harta. Ketika aku menikah dengan Mas Hermanto, Amirudin aku pungut dan tinggal denganku. Ya, aku biaya hidupnya, sekolahnya dan pakaiannya. Memang suamiku, Mas Hermanto tidak begitu nyaman Amirudin tinggal bersama kami. Namun aku berkeras karena dia adik kandungku. Adikku satu-satunya dan aku sangat kasihan kepadanya. Pikirku, mau ke mana dia tinggal? Akan ke mana lagi dia hidup jika tidak denganku. Kakak satu-satunya yang mampu untuk menyantuni dia.
Batinku, aku punya kewajiban membesarkan dan membiayainya karena kami tidak punya siapa-siapa lagi. Untuk itu, selama sepuluh tahun Amirudin tinggal di rumahku, selalu saja menimbulkan masalah pada Mas Hermanto. Suamiku memusuhi Amirudin dan mendiamkannya, tidak mengajak ngomong seperti orang asing, bagaikan orang lain. Seperti bukan adik iparnya. Mas Hermanto selalu negative memandang adikku. Bahkan, tidak pernah mau perduli sama sekali kepada Amirudin.
Hingga akhir hayatnya, Amirudin tidak boleh mencium tangan suamiku lagi. Karena Mas Hermanto selalu menghindar, menolak adikku mencium tangannya sebagai tanda hormat. Hingga adikku takut untuk mengambil tangannya untuk dicium sebagai adab sopan santun adik ipar kepada kakak ipar, Tapi, akankah aku bercerai dengan Hermanto karena adik bungsuku itu? Tidak! Karena Amirudin sendiri melarangku untuk bertengkar dengan suami gara-gara dia. untuk itulah, Amirudin meminta kepadaku untuk indekost, keluar dari rumah walau aku diam-diam masih tetap membiayainya.
Aku mencarikan rumah kost untuk Amirudin tidak jauh dari rumah kami, masih satu kelurahan dan hanya berbeda RW. Amrirudin tinggal di Gg. Manggar, Jurang Mangu Selatan, sedangkan aku di Jalan Haji Kuncin, Jurang Mangu Selatan juga. Jarak antara rumah kost Amirudin hanya tiga kilometer dari rumah. Dengan mobilku, aku ke rumahnya hanya lima belas menit. Itupun jika macet. Jika lancar hanya sepuluh menit kurang lima puluh detik. Memang aku tidak dapat setiap hari menemui Amirudin. Aku datang hanya satu kali dalam seminggu. Selain memberi uang saku dan uang kebutuhan hidupnya, aku juga mengawasi dengan ketat pergaulannya. Kepada siapa dia bergaul, kepada siapa dia berteman. Aku selalu mencek hal itu. Bertanya kepada Ibu Kost, Bu Hajjah Marwati Haji Hanan dan juga kepada teman-temannya seperti Enriko, Johan Sarifudin dan Mamat Beo.
Karena aku bekerja dan mencari uang sendiri, maka aku tidak perlu terbuka kepada suamiku untuk memberi biaya hidup dan biaya sekolah adikku. Kecuali uang dari suami. Uang bulanan dari Mas Hermanto aku tinggal di lemari dan dikeluarkan dengan catatan tertulis. Berapa pengeluaran dan untuk keperluan apa uang itu keluar. Sedangkan uangku sendiri, dari gajiku sebagai pegawai perusahaan P.T. Arum Sari Jaya Abadi, kontraktor real estate, aku kelola sendiri dan sebagian kugunakan untuk biaya Amirudin.
Bila Mas Hermanto tahu hal ini, pastilah dia tidak setuju. Lha, jika dia menolak hal ini, bagaimana nasib adikku. Mau makan apa dia? Biaya sekolahnya siapa yang membiayai dan kepada siapa dia meminta? Kan kakak satu-satunya yang ada hanya aku. Yang lain sudah meninggal dan hanya aku dan Amirudin yang ada. Ibu dan ayahku sudah lama wafat sejak Amirudin masih Sekolah dasar. Semua teman dekat saya menyayangkan sikap Mas Hermanto ini. Mereka mengecam suamiku kok begitu tega memperlakukan adik iparnya seperti ini.
"Kalau saya jadi kamu, saya akan mempersoalkan sampai tuntas. Mengapa membenci adik ipar yang tidak salah apa-apa. Jika perlu, saya menuntut cerai. Saya akan mengalahkan suami dan memilih adik. Sebab tidak ada bekas adik, bekas suami sih biasa, ada. Adik dari bayi dibesarkan dan hidup sama-sama. Kok diperlakukan begitu?" kata Dina Arsanti, tetangga sebelah rumahku.
Dina mengompori aku agar nuntut cerai karena perlakukan kasar Mas Hermanto kepada adikku itu. Tapi aku tidak mau terprovokasi. Pikirku, pasti ada jalan terbaik. Yaitu dengan cara memisahkan Amirudin untuk indekost, walau tidak jauh dari rumah. Amirudin selalu mengalah. Dia tidak pernah dendam dan merasa sakit hati kepada suamiku walau diperlakukan tidak adil bahkan kasar. Oleh karena itulah aku terharu, kasihan dan makin sayang kepadanya. Aku tidak mau dia sampai berhenti sekolah dan hidup menderita karena kekurangan makan. Maka itu saya berkorban habis-habisan untuknya. Bukan hanya uang tapi juga perhatian dan perlawanan kepada suami.
Namun, di luar dugaanku, Amirudin bergaul dengan anak-anak tetangga kost. Setiap malam temannya itu mengajak dia main gitar dan menyanyi di sebuah rumah kosong di dekat kost nya. Mereka ternyata suka minum, mabuk anggur oplosan. Alkohol dicampur anggur Orang Tua dan minuman kaleng sprite. Karena itulah maka uang yang aku berikan selalu habis sebelum waktunya. Digunakan Amirudin untuk mabuk-mabukan. Suatu malam, aku memergoki Amirudin dan temannya di rumah kosong itu. Aku marahi semua temannya dan Amirudin aku tarik pulang ke rumahku. Besoknya kupindahkan di rumah lain, jauh dari rumah lamanya.
Terakhir dia aku kontrakkan rumah kecil di dekat Pasar Lembang dan ditemani oleh familiku, Ikhlas Abdullah di situ. Ikhlas sudah bekerja di super market lndo Maret dekat situ dan bisa mengawasi dengan baik Amirudin. Untunglah, ulah mabuk-mabukkan Amirudin itu tidak diketahui oleh Mas Hermanto. Pikirku, bila dia tahu Amirudin bergajulan, mabuk-mabukkan, maka habislah aku dimaki-maki. Tuh, adikmu nyang kau bela mati-matian, ternyata tukang mabuk dan bergaul dengan berandalan Jurang Mangu. Pasti kata itu yang akan keluar dari mulutnya dan aku jadi kehilangan muka. Malu sekali.
Saat malam Selasa Kliwon, jantungku terguncang hebat. Seorang teman Amirudin menelpon aku menyebut bahwa Amirudin dibakar hidup-hidup. Aku segera ke kantor polisi dan melihat keadaan sesungguhnya yang terjadi. Hatiku miris dan otakku berputar-putar hebat. Wajah asli Amirudin masih jelas aku lihat walau separuh hangus. Badannya terbakar habis dan sekujur tubuhnya gosong hitam dan Duh Gusti, dagingnya meleleh. Aku tidak tega melihatnya dan pingsan tak sadarkan diri. Oh Tuhan, mengapa adik kandungku harus menemui hal ini. Meninggal dalam kebencian warga yang membakarnya karena mengira dia begal motor. Aku meminta saudara yang ada di daerahku datang dan menumpang menyemayamkan adikku di rumah mereka.
Hingga saat ini suamiku tidak aku kabari dan tidak perlu dia tahu bahwa Amirudin sudah meninggal dan mati dalam keadaan mengerikan seperti itu. Adikku dimakamkan oleh family kami dan aku biayai untuk tahlil hingga empat puluh hari. Memang idak banyak yang hadir, namun aku memberikan makanan dan pakaian untuk anak-anak yatim dari satu panti yatim dan kuharap berdoa untuk Amirudin.
Malam ke empat puluh dikubur, Amirudin datang ke rumahku. Saat itu Mas Hermanto sedang dinas keluar kota dan aku tidur sendiri di kamar. Tengah malam, pukul 24.00 aku mendengar suara rintihan Amirudin menangis di luar jendela kamarku. Aku membuka jendela dan aku melihat adikku duduk di pojok pagar. Wajahnya aku lihat jelas dalam keadaan utuh dan memakai baju terakhir yang pernah aku belikan untuknya. Baju kotak-kotak merah hijau yang sering dikenakannya ketika hidup. Malam itu adalah malam Senin Legi pukul 24.15.
"Kakak? Aku pulang untuk menjelaskan masalah Amirudin sesungguhnya Kak. Aku harap Kakak memahami soal ini. Sebelum aku minta maaf telah menyusahkan Kakak dan membuat Kakak malu," desisnya, terisak di sebuah batu "patung" sebelah jendela kamarku.
Kenapa kamu bangkit lagi Amirudin? Kamu kan sudah meninggal, sudah dimakamkan, mengapa kembali hidup?" tanyaku, getir, sekaligus agak takut melihat kenyataan gaib gaib ini.
Aku segera ke luar jendela, melompat untuk mendekati arwah adikku itu. Kutanyakan apa yang mau diceritakannya. Malam itu Amirudin menceritakan secara detil dengan keadaan sesungguhnya yang terjadi. Dia menggambarkan secara jelas tentang kronologi peristiwa yang dialaminya. Amriduin dijebak oleh teman pemabukannya dulu, yang mengajak dia jalan-jalan. Dia dipinjami motor dan membonceng Mister X, preman teman pemabukannya untuk pergi ke jalan Pondok Singkong. Sesampainya di Pondok Singkong dia diminta untuk mendekati seorang gadis sedang membawa motor baru Yamaha Mio.
Mau ngapain mendekati cewek itu? Tanya Amirudin kepada Mister X. Sudah, pokoknya kau turuti perintahku. Nanti, kalau aku kabur, kau harus ikuti kemana lariku. Katanya Mister X. Ternyata begitu dekat Si Gadis, Mister X mengeluarkan belati dari punggungnya dan menodongkan senjata tajam itu. Gadis itu ketakutan dan terpelanting ke tepi jalan. Motor langsung dirampas dan Mister X kabur dengan Yamaha Mio baru.
"Aku tersentak Kak dan gugup karena peristiwa itu begitu cepat terjadi, Maka itu, aku menyetir oleng ketika gadis korban begal itu berteriak minta tolong dan warga berhamburan mendekat. Keadaan begitu cepat terjadi, aku ditangkap warga dan aku dibakar hidup-hidup," kisah Amirudin, sambil merintih.
Setelah menceritakan semuanya dan aku memahami, dalam hitungan detik, Amirudin menghilang ke luar pagar. Lalu tidak terlihat lagi hingga hari ini. Besoknya aku ke makam untuk ziarah dan aku menangis di pemakaman adikku. Melihat aku menangis seorang kakek bertopi haji berbaju koko putih dan bersarung putih mendatangiku.
"Kenapa menangis di makam korban pembakaran massa ini?" tanya Si Kakek. Dengan lembut Si Kakek bercerita bahwa ahli kubur yang aku datangi adalah korban. Dikatakannya bahwa Amrudin bukan pelaku kejahatan tetapi terjebak oleh ulah kejahatan.
"Dia anak baik dan Allah sudah mengampuni kesalahannya semasa hidup dan dia ditempatkan di alam Barzah yang indah. Insya Allah nanti ahli kubur ini masuk sorga-Nya Allah Azza Wajalla yang indah," ungkap Sang kakek, lembut mendayu-dayu.
Aku berdiri lemas dan menatap wajah Si kakek dengan serius. "Maaf, kakek ini siapa?" tanyaku.
"Aku ahli kubur di sini dan mengetahui keadaan dan kenyataan sesungguhnya tentang korban pembakaran ini. Dia anak baik, polos dan tawakal. tapi karena kepolosannya itu dia dimanfaatkan para temannya yang kelompok penjahat begal itu," tutur Sang Kakek, yang minta dipanggil Eyang Chaidir.
Sebelum aku bertanya banyak hal, dengan gerakan cepat seperti angin, Eyang Chaidir menghilang di pohon kamboja pemakaman Ranti, tempat di mana adikku dimakamkan. Lha siapa Eyang Cahidir itu sebenarnya? Bisik hatiku. Aku segera pamit kepada makam Amirudin dan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku menceritakan hal ini kepada seorang ustadzah yang mengajariku mengaji. Ustadzah Maryam Hasyim, 67 tahun, menerangkan bahwa Sang Kakek yang minta dipanggil Eyang Chaidir adalah makhluk gaib. Setelah diterawangnya, sungguh mengejutkan karena sosok itu adalah Kanjeng Nabi Chaidir Alaihissalam.
"Kau beruntung dapat bertemu dengan Beliau karena jarang sekali orang dapat bertemu. para walipun, sulit bertemu dengan Kanjeng Nabi Chaidir Alaihissalam," cerita Ustadzah Maryam Hasyim, kepadaku.
Pada pertemuanku di makam Ranti, Eyang Chaidir memberikan batu kecil warna biru dan batu itu aku tunjukkan kepada Ustadzah Maryam Hasyim. Beberapa saat ustadzah tasyawuf ini memejamkan mata sambil memegang batu kecil jenis blue safir itu.
"Ini batu dari laut selatan, hadiah Kanjeng Nabi Chaidir untukmu. Simpanlah sebagai kenangan yang indah. Dan batu ini bisa menolong kamu dalam persoalan apapun," ungkap Ustadzah Maryam Hasyim kepadaku.
Aku memasukkan batu itu ke dalam air minum dan air itu aku minumkan kepada Mas Hermanto ketika sarapan pagi. Setelah meminum air itu, Mas Hermanto tersentak, dan seperti tersadar dari mimpi, bagaimana terbangun dari tidur. Dia menanyakan Amirudin, adikku, adanya di mana dan dia mau bertemu untuk minta maaf. Setelah aku ceritakan bahwa Amirudin meninggal, dia kaget dan pingsan. Begitu siuman dia meminta maaf kepadaku dan berjanji akan menyayangiku sepenuh hati. Akan merubah sikap dan pribadinya agar aku menyayanginya dengan tulus. Walau kami tidak punya anak.
Begitu ziarah ke makam Amirudin, Mas Hermanto menangis dan minta maaf kepada almarhum adikku. Dia nyaris pingsan menyesali perbuatannya di masa Ialu. Berbuat tidak adil dan kasar kepada Amirudin. Bahkan, setelah dia tahu bahwa Amirudin dibakar massa, dia marah dan akan menuntut secara hukum siapapun yang membakar adikku itu. Namun, semuanya sudah terlambat dan urusan kepolisian sudah selesai. Kasus itu ditutup dan aku tidak mau mengusut siapa saja yang turut membakar adikku. Aku ikhlas, pasrah dan berserah kepada Allah, tentang hukuman apa yang terbaik bagi orang yang membakar manusia lain. Apalagi, adikku yang diperlakukan seperti kambing, dibakar seperti kambing guling. Terserah Allah mau berbuat apa kepada orang yang zolim bahkan jahat menghangusnya tubuh adikku tercinta.
Adikku yang tak tahu apa-apa karena seorang yang polos dan terjebak begal yang bejat yang tidak diketahuinya. Mas Hermanto memahami hal ini dan kasus itu aku tutup dan aku lupakan walau rasa sakit masih bergelayut di dalam batinku. Sebelum kami mengajukan permintaan untuk mengadopsi anak saudara sepupuku, di luar dugaan aku hamil. Kini anakku sudah lahir, pria tampan dan mirip sekali dengan Amirudin. Anak yang sudah sepuluh tahun kami nanti, Alhamdulillah datang juga. Kata ustadzah, batu blue safir dari laut selatan pemberian Kanjeng Nabi Chaidir itu telah membuat subur rahimku dan aku bisa membuahkan janin dari suamiku Mas Hermanto. Seperti dibimbing oleh gaib, walau kematiannya buruk karena dibakar massa, Mas Hermanto memberi nama anak tunggal kami itu Amirudin juga. Nama itu untuk menggantikan Amirudin adikku yang malang, yang apes dan jadi tumbal begal yang menghebohkan belakangan ini.
Makin lama wajah anakku makin mirip adikku dan aku merasa Amirudin dulu hidup kembali. Allah Yang Pengasih dan Penyayang telah menggantikan adikku yang hilang dengan Amirudin yang baru. Kami menyayangi, mengasihinya sepenuh hati. Bahkan kehadiran bayiku ini, jadi membuat rumah tanggaku seperti sorga yang ada di bumi. Sorga hidup, sorga di dunia kecil, jagat alit. Ya, terima kasih Tuhan, di mana kami begitu bahagia, damai, sejahtera dan harmonis. Walau di dalam Islam tidak ada adab reinkarnasi, tapi aku merasakan kehadiran anakku Amirudin sebagai reinkarnasi dari Amirudin besar, adikku yang telah tiada, yang aku kasihi dan aku sayangi sepenuh jiwa.