Sabtu Pahing, 21 Desember 2024
Hatta, pada suatu zaman, di suatu daerah di tepian Kali Progo, yang sebagian besar daerahnya masih berupa rawa-rawa, tinggal dengan damai sekelompok penduduk. Mereka hidup dengan aman, tenang dan damai. Di antara, mereka, juga mukim seorang pengembara yang tak diketahui asal-usulnya. Masyarakat biasa menyapa sosok yang arif, bijaksana dan suka menolong sesama dengan tanpa pamrih ini dengan Ki Trunobongso.
Kepiawaian Ki Trunobongso dalam memanfaatkan berbagai jenis tanaman menjadi obat-obatan, ternyata juga teramat mengagumkan. Betapa tidak, kenyataan itu terungkap ketika salah seorang warga desa menderita sakit yang cukup lama dan semakin parah dari waktu ke waktu. Berbagai obat dan tabib sudah didatangkan, namun, hasilnya tetap saja tidak sembuh.
Ketika keadaan si sakit makin bertambah kritis, tiba-tiba, Ki Trunobongso dan menjenguk dan menanyakan apa yang dirasakannya. Setelah itu, ia pun keluar untuk mencari beberapa jenis tanaman. Setelah menerangkan jenis tanaman serta memberitahu cara meraciknya kepada keluarga si sakit, maka, Ki Trunobongso pun mulai meracik bahan-bahan tersebut dan meminumkannya kepada si sakit.
Sebelum pulang, ia pun berpesan kepada keluarga si sakit : "Buat ramuan yang tadi saya terangkan, dan minumkan dua kali dalam sehari." "Sekarang, saya mohon diri dulu," imbuhnya sambil menyalami semua yang ada.
Semuanya menatap punggung Ki Trunobongso dengan pandangan penuh rasa terima kasih. Pada hari ketga, kembali Ki Trunobongso datang menjenguk si sakit. Ternyata, si sakit sudah sembuh. Semua keluarga si sakit sudah sepakat untuk memberikan sesuatu sebaga tanda terima kasih kepada Ki Trunobongso. Namun apa yang terjadi? Ketika tanda terima kasih akan diberikan, Ki Trunobongso telah meninggalkan rumah tersebut tanpa diketahui oleh siapa pun. la bak raib ditelan bumi. Seluruh keluarga si sakit hanya bisa menarik napas panjang seraya berdoa, "Semoga, Ki Trunobongso selalu ada di dalam lindungan-Nya."
Entah sudah berapa purnama berlalu. Pada suatu malam, mendadak terdengar suara gaduh disusul dengan sinar merah di tengah kegelapan malam. Ternyata, beberapa rumah penduduk dibakar setelah seluruh harta miliknya dikuras oleh para perampok. Sontak, kepanikan pun terjadi. Para penduduk berhambuan kian kemari untuk menyelamatkan diri. Namun, ada di antara mereka yang mencoba melakukan perlawanan. Akibatnya, beberapa penduduk harus meregang nyawa terkena sabetan senjata tajam karena mempertahankan harta miliknya. Keadaan ini benar-benar dimanfaatkan oleh para gerombolan yang demikian ganas dan sadis itu untuk menjarah harta benda yang ditinggalkan dengan begitu saja oleh para pemiliknya.
Setelah merasa puas dan cukup, para gerombolan pun pergi meninggalkan desa. Kejadian yang mengerikan itu selalu saja terulang. Perasaan resah dan ketakutan teramat sangat mulai mendera seisi dudun. Tak ada seorang pun yang berani melakukan perlawanan atau menentang kemauan para gerombolan sadis tersebut. Apa lagi mereka tahu, gerombolan tersebut dipimpin oleh Ki Bajul Putih. Sosok yang memiliki kesaktian luar biasa, bahkan dapat menjelma menjadi seekor buaya putih yang besar dan ganas. Oleh sebab itu, hampir seluruh penduduk desa tak ada yang berani keluar rumah untuk melakukan aktivitasnya.
Desa itu, kini, seolah desa mati. Di saat-saat yang demikian genting, seperti biasa, Ki Trunobongso pun muncul. Sejatinya, ia tidak sengaja kembali ke dusun tersebut. Secara kebetulan, ketika sedang berjalan di tepian Kali Progo, ia bertemu dengan Joko Kemuning, salah seorang tokoh dusun yang sedang mencari upaya untuk membantu seluruh warganya yang sedang dilanda oleh ketakutan. Perkenalan di antara keduanya pun terjadi. Setelah saling memperkenalkan diri, Joko Kemuning pun menceritakan keadaan desanya dan bertanya kepada Ki Trunobongso.
"Apakah Kisanak bisa mencarikan jalan keluar dari keadaan yang tengah kami alami ini?"
"Apakah tidak ada yan berani melawan?" Kata Ki Trunobongso balik bertanya.
"Kami hanya orang kebanyakan, tidak ada di antara penduduk atau keluarganya yang memiliki kesaktian seperti Ki Bajul Putih", sahut Joko Kemuning dengan nada memelas. "la mampu mengubah wujudnya menjadi seekor buaya yang besar dan ganas, selain harta, banyak gadis dan wanita dusun kami yang diculik. Bahkan, sudah banyak pula yang mereka bunuh," imbuh Joko Kemuning.
"Kalau begitu, kita jangan membuang waktu. Sekarang, kita cari di mana Ki Bajul Putih berada", kata Ki Truno Bongso mantap.
"Tapi...?" Potong Joko Kemuning, karena ingin mengetahui apa yang akan diminta nantinya oleh Ki Trunobongso.
"Ya...tidak tapi, sekarang, mari kita cari Ki Bajul Putih", ajak Ki Trunobongso sambil menarik pergelangan tangan Joko Kemuning.
Bak kerbau dicucuk hidung, Joko Kemuning berjalan di sisi Ki Trunobongso. Sementara, hatinya terus saja bertanya-tanya, imbalan apa yang bakal diminta oleh lelaki yang baru saja dikenalnya itu. Belum lama keduanya berjalan, dari kejauhan, terdengar teriakan panjang, bentakan dan tangisan banyak orang. Ya di depan sana, gerombolan yang dipimpin oleh Ki Bajul Putih sedang menjalankan aksinya. Selain menjarah harta, rumah penduduk yang jadi sasarannya juga dirusak dan banyak pula yang dibakar. Di tengah-tengah kegaduhan, tampak seorang lelaki bertubuh kekar dan berwajah bengis sedang memperhatikan apa yang sedang terjadi depannya.
Dengan tenang, Ki Trunobongso pun mendekati dan berkata dengan santun; "Kisanak, tolong hentikan perbuatan biadab itu. Dan kembalikan harta itu kepada pemiliknya."
"Hah ...ha ha, jangan sekali-kali berani menghalangi gerombolan bajul putih," ujar lelaki yang tak lain dari Ki Bajul Putih dengan sinis dan pandangan penuh selidik.
Ki Trunobongso hanya tersenyum, lalu katanya; "Saya hanya mengingatkan, karena, merampok adalah pekerjaan yang tidak terpuji."
"Jangan ikut campur bedebah..,!" Teriak Ki Bajul Putih. Seiring dengan terikan sang pemimpin, maka, bak dikomando, seluruh perampok pun menghentikan kegiatannya dan langsung menyerang Ki Trunobongso dengan membabi-buta.
Namun, sekali ini, mereka kena batunya. Dengan gerakan yang gesit, Ki Trunobongso pun berkelit dan langsung melakukan serangan balasan yang tak kalah mematikan. Tak sampai sepemakan sirih, seluruh perampok jatuh sambil mengerang kesakitan dan mengeluarkan sumpah serapah yang tiada henti. Melihat seluruh anak buahnya berhasil dikalahkan dengan demikian mudah, tanpa ragu, Ki Bajul Putih pun menyerang Ki Trunobongso dengan jurus-jurus yang mematikan.
Sekali ini, Ki Bajul Putih mendapatkan lawan yang benar-benar seimbang. Selain pukulan dan tendangannya berhasil dihindari dengan baik, bahkan, beberapa tubuhnya telah merasakan kerasnya kepalan maupun ayunan kaki Ki Trunobongso. Entah sudah berapa ratus jurus berlalu. Yang pasti, keadaan di sekitar tempat pertaruangan itu seolah terkena sapuan angin puting beliung.
Hingga akhirnya, Ki Trubongso pun berhasil mengetahui kelemahan lawannya. Kedua tangannya mengembang seolah ia lengah. Melihat keadaan itu, Ki Bajul Putih langsung melontarkan pukulan telak ke arah dada Ki Trunobongso.
"Akh ...!" Hanya itu yang terlontar dari mulut Ki Bajul Putih yang dengan serta merta memegangi leher kanannya. Dan apa yang terjadi? Seiring dengan pukulan Ki Bajul Putih yang terlontar, Ki Trunobongso pun memiringkan tubuhnya sambil melangkah dan menebas bagian leher lawannya dengan sisi tangan kanannya yang sudah dilambari dengan ajian pamurigkasnya.
Ki Bajul Putih pun jatuh dan langsung meregang nyawa. Di tengah-tengah kegembiraan seluruh penduduk desa, Ki Trunobongso tampak bersujud. Walaupun menang dalam pertarungan dengan Ki Bajul Putih, namun, ia tetap memohon ampunan dari Yang Maha Kuasa karena telah membunuh makhluk ciptaan-Nya. Kenyataan tersebut membuat tekad seluruh penduduk desa semakin bulat. Mereka berharap Ki Trunobongso bersedia menjadi pemimpin desa, bahkan, seluruh penduduk rela mengumpulkan sebagian hartanya untuk membeli beberapa petak sawah yang subur bagi sang penyelamat.
Permintaan tersebut mereka sampaikan lewat Joko kemuning. Seperti biasa, Ki Trunobongso hanya diam. la tak menjawab barang sepatah katapun dan menghindar dari kerumunan... kemudian, hilang tanpa meninggalkan bekas. Setelah itu, banyak peristiwa besar yang dialami oleh penduduk desa, dan Ki Trunobongso pun selalu muncul untuk memberikan pertolongan. Seperti biasa, ketika ingin diberikan imbalan, maka, sosok tersebut selalu raib bak ditelan bumi. Akhirnya, masyarakat pun sepakat untuk memberikan nama desa tersebut dengan Desa Brosot yang berakar pada filosofi sepi ing pamrih rame ing gawe mengingat, kata brosot berarti brojol, atau hilang (pergi tanpa pamit), sebagaimana Ki Trunobongso yang selalu hilang atau pergi tanpa pamit ketika akan diberi imbala atas budi baiknya.