Jumat Legi, 11 Oktober 2024
Sebut saja namanya Solihin atau Olih, ketika itu ia dipercaya memegang sebuah perusahaan, tiba-tiba saja perusahaan itu maju sangat pesat. Namun roda kehidupan terus berputar, tak selamanya rezeki itu berpihak padanya. Perusahaan itu mengalami kebangkrutan, semua assetnya dilelang dan Olih pun mendapat tunjangan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Rasa sakit hati pada bosnya itu tidak bisa begitu saja hilang hingga ia dan istrinya nekad pergi ke sebuah keramat untuk melakukan ritual.
Anehnya ritual itu tidak dilaksankan di lokasi keramat, melamkan di rumah juru kunci itu sendiri. Dengan mengambil kamar yang paling depan tembus menghadap ke lokasi keramat. Tapi sebelumnya Olih terlebih dahulu ritual di Goah (tempat menyimpan beras Sunda) dengan Ki Jaka selaku juru kunci. Cukup lama juga ritual itu berlangsung dan ketika tengah malam tiba ia ditemui oleh Eyang Bapang sambil berucap "Sekarang kau harus pulang, rezekimu sudah aku antar ke rumahmu," sapa makhluk ghaib itu. Tanpa menungu lebih lama, suami istri itupun pulang meninggalkan rumah Ki Jaka. Pada ritual pertama itu tak ada pembicaraan yang lebih panjang dengan makhluk ghaib itu. Tiba-tiba saja Olih dan istrinya disuruh pulang tanpa ada kesepakatan yang berarti.
Rasa was-was pun menggelayuti pikiran suami isteri itu, takut ritualnya tidak membuahkan hasil. Namun Olih punya perinsip kalau ucapan itu langsung dari makhluk ghaib, dedemit atau siluman mesti dilaksanakan. Sesampamya di rumah Olih dan istrinya merasa bingung apa yang diucapkan oleh makhluk ghaib itu ternyata tidak ada buktinya. Olih belum mengenal tentang hal-hal seperti demikran, maunya minta langsung ada di tempat. Malam itu Olih dan istrinya masuk ke kamar khususnya hendak melakukan ritual.
Saat tengah malam tiba di samping rumahnya terdengar suara memanggil dirinya 3 kali "Olih.. Olih Olih. Aku telah datang untuk menemuimu " Tiba-tiba seberkas cahaya masuk melalui ventilasi kamar. Perlahan cahaya itu berubah menjadi kepulan asap tebal dan lambat laun membentuk sosok makhluk gaib bertubuh besar duduk bersila di hadapannya. Kepalanya nyaris sampai langit-langit kamar. Melihat penampakan seperti itu keduannya semakin gemetar, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. "Kenapa kau diam Olih.. apa kau tidak tau Kalau aku datang untuk memberi keputusan. Isi dalam karung itu bisa kau pergunakan dalam 2 hari lagi dengan satu syarat anakmu yang paling besar akan aku "ambil". "Apa tidak bisa diganti dengan Yang lain Eyang?" pintanya. "Tidak bisa, harus kau tebus dengan darah dagingimu sendiri.Camkan ucapanku ini dan aku tidak bisa berlama-lama berada di tempatmu. Masih banyak tugas yang aku emban dan aku hanya melaksanakan titah maharaja tuanku Baginda Bapang."
Malam itu juga makhluk ghaib itu meninggalkan kamar khusus milik Olih. Sepeninggal dedemit tersebut keduanya saling bertanya siapa makhluk ghaib tersebut. Olih tidak sempat bertanya pada makhluk itu lantaran langsung melesat begitu saja. "Kang, lebih baik kita batalkan saja niat mu itu ketimbang anak kita yang diambil oleh dedemit itu," tutur istrinya yang sangat menyayangi Rika anak gadisnya itu. Olih tak membalas ucapan istrinya lantaran dirinya pun kaget kenapa tiba-tiba anaknya yang diminta oleh makhluk ghaib bertubuh besar itu. Kenapa bukan Sanusi, orang yang telah mernbuatnya sengsara. Itulah sifat picik manusia, ingin kaya raya sementara yang dijadikan tumbal adalah orang lain.
Dua hari kemudian tepatnya malarn Jumat Kliwon, Olih ritual kembali di kamar khususnya dengan maksud untuk membatalkan niatnya, mereka tak mau kehilangan anak yang paling dicintai itu. Hanya berselang beberapa jam kemudian muncullah Eyang Bapang beserta pengawal kerajaan Eyang Ageng yang pernah ditemuinya. Kedatangannya hari ini untuk menentukan kalau uang kirimannya itu akan diserahkan. Tentunya harus melalui kesepakatan bersama antara makhluk dan Olih hanis menyerahkan Rika anaknya sebagai tumbal pesugihan. "Olih...., aku datang kali ini untuk menyerahkan permintaanmu tapi ingat anakmu aku ambil".
"Ampun eyang..... aku tidak bisa melaksakan permintaan mu." "Kenapa kau tolak Olih.....?" Tanyanya agak marah. "Aku sangat sayang pada anakku eyang. Jika saja permintaanmu bisa diganti dengan orang lain aku sanggup Eyang." "Tidak bisa, kirimanku sekarang masih ada di tempat ini dan tidak bisa aku ambil kembali." "Mohon ampun eyang, aku tidak bisa menerima keputusan ini." "Baiklah Olih sekarang harus kau cari penggantimu untuk meneruskan jejak langkahmu ini." "Maksud eyang bagaimana?" "Begini Olih, cari orang yang sanggup melakukan perjanjian denganku serta kiriman itu semua akan aku serahkan padanya, paham?" "Baiklah eyang."
Malam itu Olih dan istrinya telah memutuskan perjanjian dengan dedemit yang wujudnya manusia besar dan berbulu lebat. Namun semua itu tetap saja Olih yang harus menentukan siapa orang yang bisa dipercaya untuk melanjutkan ritualnya itu. Tentunya yang sanggup segala resikonya jika diminta oleh dedemit itu. Setelah perjanjian antara olih dan dedemit itu dibatalkan maka isi dalam karung itu pun berubah yang semula uang kertas gepokan sekarang menjadi daun sirih. Cukup lama juga Olih mencari orang yang betul-betul niatnya sudah bulat. Akhimya ia mendatangi tempat keramat dan secara kebetulan ia pun bertemu dengan seseorang.
Sebut saja namanya Santo yang sedang melaksanakan Santo sudah 4 hari ngelakoni ritual di tempat tersebut namun belum juga didatangi oleh karuhun dan belum mendapat petunjuk apa-apa. Barulah Olih menceritakan maksud dan kedatangannya pada Santo. Panjang lebar Olih bercerita mulai dari awal sampai akhir hingga teman barunya itu mengerti tentang ritual apa yang sedang Olih lakoni sekarang ini. Memang di keramat itu banyak sekali para pelaku yang melaksanakan ritual, namun hanya sebagian kecil saja orang yang sukses dan itupun terjadi sekitar tahun 1980-1985.
Seminggu kemudian Olih dan Santo pergi menuju keramat Eyang Bapang. Sebelumnya mereka telah berkoordinasi dengan Ki Jaka selaku juru kunci. Malam itu juga aku (penulis) berempat dengan Olih, Ki Jaka dan Santo menelusuri jalan setapak menuju keramat Eyang Bapang. Menempuh perjalanan hampir 2 jam lamanya dan hanya diterangi lentera kecil akhimya kami sampai juga di tempat tujuan. Malam itu ketiganya duduk bersila menghadap batu besar, sesajian disimpan dibawahnya, sedang saya duduk paling belakang. Hanya memakan waktu 20 menit lamanya ritual itupun selesai. Juru kunci dan saya menuruni bukit hendak pulang ke rumah Ki Jaka. Namun di tengah perjalanan aku mendengar suara gaduh monyet di tempat keramat dimana Olih dan Santo sedang melaksanakan ritual. Entah apa yang terjadi.
Menurut Ki Jaka monyet-monyet itu adalah para siluman yang tadinya juga manusia. Semasa hidupnya manusia itu bersekutu dengan penghuni keramat itu. Maka tak aneh bagi Ki Jaka mendengar suara teriakan seperti itu berarti para dedemit dan siluman sudah mulai turun menemui mereka berdua. Sepeninggalan kami, selang beberapa menit saja tiba-tiba keduanya mendengar suara tanpa wujud. "Sampurasun." Keduanya menjawab berbarengan. "Rampes." Temyata sumber suara itu berasal dari atas batu besar di mana sudah duduk bersila seorang bertubuh besar, seluruh tubuhnya dipenuhi oleh bulu-bulu laiknya manusia kera. "Ternyata kau datang juga Olih. Siapa yang kau bawa?" Sapa manusia kera itu. "Aku membawa seseorang yang hendak melanjutkan perjalananku eyang." "Baiklah, siapa namamu anak muda?" Sapanya makhluk gaib itu lagi. "Santo," jawabnya singkat. "Apa kau mau menjadi pengikutku anak muda?" "Bersedia eyang." "Baiklah, kau akan menerima imbalan dariku tapi aku akan ambil nyawa anakmu." "Aku bersedia eyang." "Ingat anak muda jika kau ingkar janji berarti nyawamu sendiri sebagai gantinya mengerti?" "Iya eyang" "Sekarang kau boleh pulang, tunggu kehadiranku anak muda beberapa hari lagi."
Malam itu juga Olih dan Santo pulang, tapi karena hujan akhirnya keduanya tidur di cungkup yang berukuran sangat kecil hanya cukup untuk satu orang saja. Olih mengambil tempat di tengah sementara Santo di ujung. Santo memang sudah gelap mata diiming-imingi dengan harta sebanyak 4 karung ia langsung setuju. Namun semua itu harus ada gantinya, manakala manusia bertubuh besar dan berbulu itu meminta imbalan. Anaknya yang ketika itu sudah ada di tempat itu berdiri disamping tumpukan karung walau anaknya itu menangis tersedu-sedu, Santo tetap merelakan anaknya dijadikan tumbal. Naudzubillah.
Hari menjelang subuh, Olih dan Santo turun dari tem-pat itu. Setibanya di rumah Ki Jaka, Santo berubah murung, ia tidak bicara sepatah kata pun. Matanya merah yang terdengar hanyalah suara gemeretak giginya saja seperti orang keraksukan setan. Menurut Ki Jaka roh Eyang Bapang masuk ke raga Santo untuk berkomunikasi dengannya. Hasil komunikasinya mengatakan kalau Eyang Bapang minta dibuatkan pepes ikan lele jika waktunya nanti dirinya hendak datang menemui Santo yang bertempatan dengan malam kelahirannya.
Siang itu juga Olih dan Santo meninggalkan rumah Ki Jaka. Setibanya di rumah keduanya seperti biasa melakukan aktiftas masing-masing. Santo sebagai pedagang kecil-kecilan, dia buka warung di rumahnya yang ditunggui oleh istrinya. Empat hari kemudian Santo ritual di rumahnya. Apa yang diamanatkan Ki Jaka seluruhnya dilaksanakan termasuk permintaan pepes ikan lele. Tepat pukul 21.00, Santo masuk kamar khususnya, suasana malam itu sangat berbeda, sepi dan mencekam. Suara burung hantu tak henti-hentinya berbunyi. Para penduduk enggan keluar rumah lantaran hampir seharian diguyur hujan. Malam semakin larut, hawa dingin membuat petugas ronda enggan berkeliiing kampung. Beberapa orang memgumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun agar tidak terlalu mengigil kedinginan. Sedang asiknya mereka menghangatkan badan di api ungun, beberapa orang melihat seberkas cahaya brum melesat dan menghilang di kebun bambu, di tempat Santo tinggal. Namun para petugas ronda tak menghiraukan penglihatannya itu.
Bertepatan dengan hilangnya cahaya itu tiba-tiba di atas genteng rumah Santo muncul bayangan hitam yang tak lain adalah Eyang Bapang yang wujudnya menyerupai kera. Makhluk ghaib itu lalu turun dan masuk melalui celah pintu dan seketika itu juga sudah ada di kamar khusus Santo. Malam itu terulang kembali kesepakatan dan perjanjian antara keduany.a Perjanjian singkat itupun selesai. Apa yang dibicarakan antara keduanya sangat pribadi. Tepat pukul 12.00 Santo segera masuk kamar khususnya, maksudnya hendak melaksanakan perintah Eyang Bapang, dimana kiriman yang semula bentuknya daun sirih kini berubah menjadi uang gepokan yang sangat banyak.
Sekarang Santo tidak kekurangan lagi, hidupnya mewah pekerjaan mencari tokek pun sudah dia tinggalkan karena selama ini belum pernah ada yang berhasil. Hingga 6 bulan lamanya, Santo selalu mendampingi Vina anaknya. kemana saja selalu dikawal lantaran permintaan Vina yang sangat luar biasa. Vina sangat manja apa yang diminta mesti dibeli, kedua orang tuanya pun sangat sayang. Jika saja vina bukan amanat dan titipan dari Eyang Bapang mungkin tidak seperti demikian.
Hingga menginjak bulan ke-7, musibah itupun terjadi. Waktu itu sopir pribadi keluarga Santo tidak masuk kerja, katanya sakit. Vina hendak pergi ke sekolah tapi tak ada yang mengantar, terpaksa naik becak. Ditengah perjalanan tiba-tiba ada pengendara mobil yang oleng hingga menabrak penarik becak tersebut. Becak beserta penumpangnya terpental beberapa meter. Nyawa Vina tak bisa diselamatkan, ia meninggal di tempat. Vina dipersembahkan oleh ayahnya sendiri sebagai tumbal pesugihan.