Jumat Legi, 11 Oktober 2024
Karena karburator tersiram air hujan, sedan yang dikendarai herni karnita tiba-tiba mogok. Janda muda tanpa anak ini pun menjadi panik dan kalut. Sebab posisi mogok itu tepat di tengah hutan lubuk maringgai,suatu hutan yang sangat angker di kalimantan timur. Di hutan itu sering terlihat hantu kuyang (puyang-puyang), yaitu suatu jenis hantu "Kepala" tanpa badan yang mengambang menakut-nakuti warga yang lewat. Selain membuat takut, banyak pula saksi mata korban memberi gambaran yang seram, menyebut tentang keganasan makhluk itu. Yang mengalami kengerian itu memberi kesaksian bahwa kuyang ternyata menggigit dan menghisap darah manusia. Bahkan sudah puluhan korban mati mengenaskan di jalanan hutan lubuk maringgai sejak tahun 1969 hingga sekarang. Banyak yang kehabisan darah setelah hantu kuyang menggigit leher lalu menyedot darah layaknya lintah dan nyamuk-nyamuk yang biadab. Duh gusti!
Jantung Herni berdebar hebat menghadapi kenyataan ini. Berulang kali dia coba menghidupkan mesin, tapi kendaraan itu tetap tidak bisa dihidupkan. Karena terus-terusan distarter, lama kelamaan energi aki mengecil. Bahkan terakhir, strum aki sedan kehilangan api sama sekali. Jangankan dapat menyalakan lampu besar, lampu kecil di dalam kabin pun, tidak bisa dinyalakan lagi oleh Herni. Selain kalut karena tidak bisa menjalankan mobil, Herni juga kalut karena malam itu sangat sepi sekali. Padahal selama ini, walau sedikit, kendaraan yang lewat ada saja setiap setengah jam. Karena tidak ada kendaraan yang lewat maka tak ada pula tempat Herni untuk meminta bantuan.
Herni lalu menangis dan menyesal kepergiannya itu, kenapa tidak mengajak teman juga kenapa tidak berjalan di siang hari, Bahkan Herni pun nyaris mempersalahkan aku, kenapa bukan aku yang datang ke rumahnya di Samarinda, kok dia yang harus datang ke hotelku di Balikpapan. Jarak antara kota Balikpapn dan Samarinda sekitar 160 kilometer. Karena jalanan berbelok-belok dan berbukit-bukit, maka perjalanan harus ditempuh selama tiga jam.
Jam di tangan Herni menunjukkan angka 24:00 tengah malam. Sudah sekitar empat jam dia berada di dalam mobilnya, terkurung di tengah hujan lebat. Herni terus menunggu dan menunggu kalau-kalau ada mobil yang lewat di tengah malam itu. Herni bertekad keluar dari mobil dan menyetop kendaraan yang lewat untuk meminta pertolongan. Beberapa saat kemudian dari lobang AC, tercium bau wangi bunga melati menyebar menyengat hidung memenuhi ruang-ruang dalam sedannya. Dalam hitungan menit setelah itu, kaca jendela diketuk. Tapi Herni tidak melihat sosok orang yang mengetuk itu karena gelap. Di situ tidak ada lampu jalanan dan tak ada sinar yang membantu Herni untuk melihat alam sekitar. Ketukan itu mulanya pelan, tapi semakin lama semakin mengeras. Terakhir ketukan di jendela itu sangat keras, bahkan nyaris memecahkan kaca jendela.
"Siapa ya? Kamu siapa sih?" tanya Herni, gelagapan. Jantung Herni berdebar hebat dan nyalinya menjadi sangat ciut. Tak ada jawaban dari luar. Tapi jendela terus diketuk-ketuk. Jumlah ketukan semakin banyak. Angin terasa sangat deras datang dari arah utara dengan kecepatan sekitar 60 km per jam. Gelombang laut Selat Makasar diberitakan meninggi sampai sepuluh meter. Berita itu didengar Herni dari radio tape di kabin sedannya sebelum mogok itu terjadi. Sementara badan meteorologi dan geofisika meramalkan akan terjadi badai angin puting beliung di daerah Kalimantan Timur. Udara di malam hari disebut akan cukup dingin dari 20-22 derajat celsius dengan kelembaban rata-rata 60-70 persen per-12 jam. Hernie berangkat dari rumahnya di Banda Petroma, Samarinda, menuju Balikpapan pukul 19.45 WIT untuk menemui aku di Balikpapan. Akupun malam itu menunggu kedatangannya di hotel Petro, Kami sudah lama tidak bertemu dan tidak jalan-jalan bersama, terutama sejak dia menikah dan tinggal di Kaltim. Hernie sekarang menjadi janda tanpa anak. Suaminya Barli, meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Tenggarong. Barli meninggalkan warisan tiga rumah mewah di Samarinda dan empat mobil mewah. Selain dari itu, Barli juga mewariskan ratusan hektar tanah perkebunan karet di Taraking dan dua puluh kapal boat. Sedangkan perusahaan angkutan laut yang dikelola Barli dulu, kini diteruskan oleh Herni dan Herni bisa menanganinya.
Flash back ke tahun 96 lalu, aku sangat ingat tentang Herni di sekolahan. Herni dikenal paling cantik di SMA Karya Jakarta Pusat, tempat kami menuntut ilmu. Tak ada seorang gadis pun yang bisa menyamai kecantikan dara yang dilahirkan di Samarinda, 17 Agustus 1978 ini. Selain tubuhnya tinggi, 170 cm, berat badannya 46 kg, langsing, kulitnya juga sangat indah, kuning langsat dan matanya bulat nan bening. Yang paling menarik darinya, justru kecantikan alami yang muncul dari dalam diririya. Kepribadian Herni sangat mempesona. Orangnya sangat santun, ramah dan punya tenggang rasa, tepa selira yang sangat besar pada teman. Sebagai gadis yang sedang tumbuh dengan seribu kharismanya, Herni Karnita banyak diuber-uber oleh agen iklan dan produser sinetron. Bahkan beberapa agen talent scout berebut untuk mendapatkan Herni, ingin menjadikannya sebagai obyek bisnis entertainment. Tapi sejauh itu Herni merendahkan dirinya, dia menolak semua tawaran menggiurkan itu karena dia tidak sanggup masuk ke rana hiburan, karena diakui itu bukan bidangnya.
Di luar tawaran-tawaran bisnis, Herni juga banyak diuber-uber cowok ganteng yang tajir berat, berduit. Para pengejar Herni itu bahkan banyak yang memarkir mobil mewah di luar sekolahan untuk menjemput. Tapi tidak sekalipun Herni bersedia naik. Dia mau turut bila beramai-ramai dengan temannya, termasuk dengan aku. Maka karena terpaksa, Tommy Hardi, anak konglomerat Lim Bun An, mau juga menerima kami ikut naik sedan mewahnya. Mobil buatan Jerman itu akhirnya diisi oleh enam orang sekaligus, over kapasitas. Tommy Hardi yang ingin duduk di depan bersama Herni, malah menolak. Herni di belakang bersama tiga teman kami yang lain. Tommy tersenyum kecut melihat kenvataan itu, di mana justru aku yang di depan menemani Tommy.
Tubuhku sangat gendut, berat 100 kg, tinggi 160 dan kulitku legam sedikit mirip dengan kulit orang Kamerun. Pokoknya aku ini tipe gadis yang tidak menarik sama sekali. Kontras dengan kecantikan Herni yang dauber-uber. Teman-teman cekikikan melihat kenyataan itu. Bahkan Nita, Si Centil asal Palembang itu membisikkan padaku. Tommy ini maunya dapat duduk bersanding dengan Putri Ayu, eh enggak tahunya dapat gorilla. He..he..he. bisik Nita terpingkal-pingkal. Tommy tidak curiga menghadapi kenyataan itu. Aku memang tidak pernah tersinggung dengan percandaan Nita itu. Bahkan aku geli sekali mendengar omongannya. Kami berteman baik berlima dan tidak pernah saling tersinggung apabila bercanda.
Cuma Herni yang tidak pernah mengeluarkan candaan gila-gilaan, dia paling jadi pendengar dan hanya bisa tertawa bila Yang dirasakannya lucu. Tapi bila ada candaan kelewat batas, Herni selalu mengingatkan kami semua agar mengontrol diri. Hari itu Tommy terpaksa mengajak kami makan enak. Kami berlima diajak makan sop buntut mewah di Hotel Borobudur, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Aku memang jago makan karena tuntutan tubuhku yang gendut, sampai minta tiga kali nambah. Habis itu aku minta es krim banana split dua porsi dan makan ayam goreng lima potong. Hal itu sebenarnya maiu sekali untuk aku lakukan dan aku jaga gengesi untuk memesan makanan segitu banyak. Tapi diam-diam justru Tommy yang kokay itu yang memesankannya berdasarkan bisikan dari Nita yang gila.
Aku jadi bahan tertawaan Nita dan hal itu enteng saja aku rasakan. "Teman-teman gue ini emang gile semua kecuali Herni nih. Gue jadi malu nih dikerjain, sorry Mas ya?" kataku kepada Tommy, menutupi rasa malu itu, berbasa-basi kepada Tommy. Tommy mengatakan bahwa hal itu tidak masalah dan dia senang saja melihat kenyataan itu. Hari itu, Tommy bayar sampai Rp 1,4 juta makanan kami dan dia membagi-bagikan uang pula kepada kami berlima setelah kami minta didrop lagi ke rumah Herni Karnita, di Jalan Pedati Raya, Jakarta Timur. Banyak kenangan lucu, kocak dan indah bersama Si Cantik Herni Karnita.
Sayang, begitu kami tamat SMA, kami terpaksa berpisah berlima, di mana semuanya kuliah di tempat yang berbeda-beda. Aku kuliah di Universitas Indonesia ambil Sastra Rusia sedangkan Herni ke Universitas Samarinda di Kalimantan Timur. Sedangkan Nita kembali ke Palembang dan kuliah di Emi di Unisba Bandung, Eki kuliah di UII Yogyakarta. Namun di luar dugaan, baru semester tiga, aku mendapat berita dari Herni Karnita bahwa dia dilamar pengusaha angkutan laut dan siap menikah. Laki-laki bernama Barli Hasan yang menyuntingnya, tak lain adalah masih ada hubungan keluarga. Anak pamannya itu memang berteman dengan Herni sejak kecil dan diam-diam telah dijodohkan sejak kecil oleh orangtua masing-masing.
Ibu kandung Herni, Maryam, memang berjanji sama abang kandung yang sangat disayang, Hernadi Hasan, untuk menjodohkan anak mereka. Hernadi sangat senang dan siap untuk menikahkan anaknya kepada anak adiknya yang juga sangat disayangnya itu, Karena memenuhi keinginan orangtua tercinta Herni untuk segera menikah. Dia tidak keberatan menerima kenyataan itu dan siap saja demi ibu dan pamannya yang sangat dihormati. Apalagi melihat Barli yang juga tidak jelek, cukup ganteng dan sangat pintar dalam bisnis. Dalam usia belia, Barli mampu mengelola perusahaan ayahnya hingga makin maju dan berkembang.
Pada saat akan akad nikah, kami berempat dikirimi tiket pesawat pergi ke Samarinda. Kami disediakan satu rumah khusus sebelah rumah Herni dan kami dibiayai bersenang-senang di Samarinda, Tenggarong dan Balikpapan. Pulangnya kami diberi souvenir yang sangat banyak barang kerajinan khas Kalimantan. Kami berempat diantar Herni dan Barli ke Balikpapan dengan jeep mercy hingga pesawat terbang kembali ke Jakarta. Barli dan Herni sunguh sangat harmonis bersuami-istri. Kesantunan Barli sangat nyambung dengan kesantunan Herni sehingga mereka menjadi pasangan yang sangat ideal dan mesra. Prianya ganteng, pengantin wanitanya sangatlah cantik. Beberapa tahun kemudian, aku menikah pula. Seorang pria yang bertubuh langsing, Herman, melamarku dan kami menikah. Herni dan teman-teman semua datang ke Jakarta pada acara resepsi perkawinanku dan mereka mendoakanku agar aku bahagia dengan perkawinan itu.
Nita masih sempat pula mencandaiku dengan konyol, katanya, aku dengan Herman nampak seperti angka sepuluh. Herman angka satu dan aku angka nol. Dari padanan dua angka itu maka hasilnya angka sepuluh. Nita memang berbakat melawak, dia selalu saja bikin aku terpingkal-pingkal dengan ocehannya. Bahkan Herni selalu mencubitnya bila dia sudah kelewatan dalam bercanda. Nasib ternyata menuntut lain. Suratan takdir menghantarkan Herni pada suatu kesedihan yang mendalam. Pada suatu hari, saat menjalani roda bisnis, Barli mengalami kecelakaan lalu lintas dan mati di tempat. Mobil yang dikendarai masuk jurang dan Barli tergencet hingga menghembuskan nafas terakhir. Tubuh Barli digambarkan Herni hancur total dan Herni tak sanggup lagi menceritakan, di mana setelah itu Herni menangis. Kami minta maaf tidak bisa datang melawat ke Samarinda dan kami hanya mendoakan dari kejauhan. Dalam perkawinan itu, Herni dan Barli belum dikaruniai oleh Allah anak. Setelah diperiksa, memang ada kelainan pada Barli dan perlu dirawat khusus. Dalam perawatan dokter agar subur itu, Barli keburu dipanggil dan pria super santun dan baik hati itu pun pergi untuk selamanya.
Hujan makin deras di Hutan Maringgai. Sedan Herni mogok total dan Herni pasrah menghadapi nasib. Telpon genggangnya kehilangan sinyal, posisi server handphone apapun kala itu out of area dan Herni tak mampu menelpon siapapun. Termasuk aku di Balikpapan. Padahal aku terus menerus menelpon ke HP Herni, nyaris tak kenal lelah menghubunginya selama perjalanan, karena aku tahu bahwa dia sedang menyetir sendiri menuju Balikpapan. Aku sangat meresahkan kenyataan itu. Bahkan aku mengkhawatirkan kalau-kalau Herni mengalami kecelakaan lalu lintas sebagaimana Barli, suaminya. Tapi aku terus menerus berdoa dengan khusuk, meminta kepada Allah agar Sang Khalik melindungi Herni dan teman baikku itu selamat dalam perjalanan.
Herni ketakutan luar biasa mendengar ketukan kaca semakin keras. Ketukan itu diyakini oleh Herni adalah ketukan kepala kuyang yang akan menyerangnya. Jantung Herni berdetak cepat dan bulu kuduknya merinding sebesar jagung. "Oh Tuhan, bantulah aku, tolong aku Tuhan, aku benar-benar dalam keadaan berbahaya. Ya Allah, lindungi hamba-Mu yang lemah dan dalam posisi terjepit ini!" desis Herni. Wanita cantik dan janda muda itu berkomat kamit berdoa, dia membaca ayat-ayat apapun yang bisa dia baca. Tangan Allah akhirnya menjamahnya. Beberapa saat setelah ketukan terkeras, muncul sinar dari arah depan. Sebuah mobil dengan sinar lampu mobil itu menyinari pengetuk jendela yang ternyata lima kepala kuyang beterbangan di sekitar mobil Herni. Dengan kasatmata dan jelas sekali, muka kuyang itu sangat mengerikan. Matanya bolong, hidungnya panjang dan giginya bertaring.
Oh Tuhan, lindungi aku Tuhan, tolonglah Tuhan, teriak Herni. Entah karena apa, begitu sinar makin terang, kuyang itu melesat ke hutan, menghilang ke dalam belukar yang ditumbuhi pohon-pohon ulin besar itu. Dengan sisa tenaga dan keringat mengucur, Herni memberanikan diri keluar dan menyetop mobil yang lewat. Herni berdiri di tengah jalan supaya mobil itu berhenti Benar saja, kendaraan jenis truk penganggut bahan bangunan itu berhenti. Sopir truk segera turun dan membantu Herni. Truk yang kosong itu menarik mobil Herni dan Herni menyetir mobil yang mogok menuju Balikpapan. Karena takut, herni minta ditemani di kendaraannya dengan kernet truk, anak remaja yang sangat baik. Sedan Herni bahkan ditarik ke bengkel langganan sopir truk dan dinihari itu juga dibetulkan.
Herni selamat menyetir sampai bertemu aku di hotel Patra. Begitu bertemu, pukul 03.00 dinihari, Herni memelukku dengan erat. Kami sama-sama menangis dan bersyukur pada Allah karena Herni selamat dari marabahaya besar. Jika tidak dilindungi Allah, pastilah Herni dimakan kuyang dan Herni akan tewas di Hutan Maringgai sebagaimana korban-korban yang lain. Aku menyatakan menyesal meminta Herni datang ke Balikpapan. Padahal, bila aku yang pergi ke Samarina dengan travel biro, pastilah Herni tidak akan mengalami nasib menyeramkan itu. "Sudalah Maya, semuanya ini sudah menjadi suratan takdir dan skenarionya memang harus begitu. Aku sendiri, kok benar-benar sangat antusias untuk menyetir sendiri ke Balikpapan menemuimu, padahal aku tidak begitu pengalaman menyetir malam. Apalagi, aku masih trauma pada tragedi kecelakaan lalulintas yang dialami Barli, suamiku beberapa tahun lalu.
Karena aku dapat ijin dari boss untuk tambah hari dalam dinasku, perusahaan Rusia di Jakarta tempatku kerja, aku mengantar Herni ke Samarinda siang hari. Sebelum berangkat Herni dan aku mencari rumah sopir truk dan kernet yang berbaik hati menyelamatkannya dari kuyang. Herni meninggalkan uang yang cukup besar pada istri Kosim, sopir truk, tanda terima kasih telah dibantu. Juga kepada Hendra, kernet yang juga membatunya sampai ke kota Balikpapan dinihari itu. Dalam perjalanan, aku terus menerus melihat ke kiri dan kanan mertyaksikan pemandangan alam yang begitu indah di Bukit Suharto, jalan yang turun naik, berkelok-kelok dari Balikpapan ke Samarinda. Tepat di hutan Maringgai, Herni menunjuk lokasi mobil mogok dan disitulah dia diteror hantu kuyang yang menyeramkan. Walau keadaan siang hari. kami berdua berkomat-kamit berdoa, berzizir pada Allah minta keselamatan dalarn perjalanan itu. Kami meminta keamanan, kenyamanan dan keselamatan gangguan hantu kuyang yang iuga terkadang muncul di siang hari. Walau mencekam, Herni mengaku tidak pernah kapok menyetir sendiri dan lewat di Hutan Maringgai dengan sedannya apabila ada urusan ke Balikpapan. Tapi Herni mengaku tidak berani bejalan di malam hari. Beraninya di siang hari karena banyak kendaraan lalu lalang di saat siang. kuyang takut keluar bila suara berisik dan klakson mobil yang memekakkan telinganya.