Kamis Legi, 31 Oktober 2024
Suhu udara di puncak pass malam itu sangat dingin. Pada mesin pengukur suhu terlihat angka 10 derajat celsius. Angin sangat kencang berhembus dari barat ke timur. Atap bungalow tempat kami menginap berulang kali terangkat ke atas diterjang puting beliung. Penutup bungalow dari asbes berbentuk genteng itu terlepas dari paku-paku pengikatnya. Tak urung, karena tanpa kekuatan penahan, maka atap itu terlepas dari padanan kayunya, lalu melayang ke arah timur. Genting pun terangkat terbang ke udara, melayang sepanjang beberapa ratus meter seperti laron-laron. Beberapa saat kemudian, hujan lebat turun dengan sangat deras menyirami bumi. Lalu, guntur dan petir bersahut-sahutan memecah kebisuan malam.
Batinku sangat gundah gulana mensiasati hari-hari bulan maduku itu. Bukanlah kebahagiaan yang didapat, tapi malah kegelisaan yang datang. Kegundahan yang menjurus kepada teror alam bulan November yang menakutkan. Kang Tisna, suamiku, tidak dapat berbuat banyak, kecuali mengusulkan untuk pulang ke Jakarta malam itu juga. Tempat itu tidak layak sebaqai lokasi untuk berbulan madu.
"Kita tinggalkan saja bungalow ini dan pindah ke hotel berbintang di Jakarta!" usulnya.
Pendapat Kang Tisna banyak benarnya juga. Tapi untuk pergi meninggalkan bungalow rasanya sangat tidak mungkin saat alam sekitar sedang mengamuk. Beberapa saat kemudian pohon angsana dan pohon cemara depan bungalow, tiba-tiba tumbang menutup halaman. Mobil kami pun tak akan dapat meninggalkan garasi karena pas di depan garasi itu bongkol angsana tua yang rebah menutupi jalan keluarnya kendaraan. Petir berulang kali menghajar pepohonan yang masih berdiri, suaranya memekakkan telinga dan kami berdua menutup kuping kami karena bising. Posisi bungalow yang kami tempati berjarak jauh dari villa dan rumah penduduk.
Di sekitar bungalow terbentang hutan pinus yang luas dengan tumbuhan bakau darat yang sangat lebat. Tidak ada suara kendaraan dan manusia yang terdengar, padahal kami mengharapkan ada orang lain yang bisa membantu kami. Dari kejauhan, lamat-lamat kami hanya dapat mendengar suara anjing hutan liar yang cukup banyak di kaki Gunung Pangrango itu. Sementara hujan deras makin gencar turun dan sebagian ruang bungalow tergenang air. Kami mencoba menghubungi keluarga di Jakarta untuk datang membantu. Tapi tidak ada sinyal sedikitpun yang memungkinkan kami berkomunikasi ke ibukota. Oh Tuhan, batinku, malam ini sungguh menjadi suatu malam yang mencemaskan yang jauh dari harapan. Alam sedang murka dengan angin puting beliung kencang, yang merubuhkan puluhan pohon besar sekitar bungalow. Beberapa saat kemudian terdengar dentuman suara longsor, tanah kaki pegunungan yang terbias karena tanpa akar-akar kuat pengikat.
"Kita terkurung di sini Din, kita tidak bisa ke mana-mana lagi. Keluar bungalow pun, sangat berbahaya. Lihatlah, semua jalanan tertutup pohon tumbang dan kita tidak bisa menjalankan mobil kita dengan baik!" desis Kang Tisna, dengan ekspresi yang lemah juga kalut.
"Saya menyesal kenapa kita berbulan madu ke sini, kenapa tidak di Ancol saja yang lebih dekat rumah kita. Kita bisa sewa salah satu bungalow di Putri Duyung, di sana yakin lebih aman saat ini!" celetuk Kang Tisna.
Apa yang dibicarakan Kang Tisna ini benar-benar membuatku emosi. Sebab ide untuk menyewa bungalow ini adalah ideku. Kang Tisna seakan mau memposisikan aku sebagai seorang yang punya gagasan salah, artinya kenapa memilih puncak, bukan laut Ancol yang lebih aman. Aku memilih tempat itu karena gratis, di mana bungalow ini adalah milik mitra kerjaku, Mister Hans van Groningen, warisan kakeknya dulu, seorang direktur perkebunan teh Green Garden. Kami dipinjami oleh Mister Hans Groningen dan dia menolak untuk kami bayar. Bungalow ini adalah bungalow tua dengan bangunan gaya Amsterdam yang dirombak lagi. Dinding bungalow sangat kokoh walau umurnya sudah sangat tua. Bungalow itu dibangun pada tahun 1886 oleh arsitek kenamaan dari Nederland bernama Ruud van Merwick.
"Tidak perlu membayar, walaupun kalian tinggal di sana sampai sepuluh hari tidak masalah, anggaplah itu sebagai kado perkawinan kalian!" ungkap Mister Hans pada kami, sebelum kami melakukan honeymoon itu.
Bungalow antik ini memang disewakan Mister Hans untuk umum. Bahkan salah satu travel besar di Jakarta menjadi pelanggan mereka. Turis-turis yang berniat menikmati keindahan Gunung Pangrango, diinapkan di sini. Fasilitas bungalow cukup komplit, ada air hangat dari solar connecting, ada televisi, lemari pendingin, hitter pemanas kamar dan balkon ukuran sepuluh meter untuk memantau gunung. Posisi bungalow pas di bawah kaki Gunung Pangrango. Pemandangan menuju gunung sangat terbuka sehingga keindahan perbukitan Jawa Barat itu begitu nyaman dirasakan. Karena mengalami beberapa kali renovasi, bangunan tua ala Paseo de Garcia itu juga mengalami perubahan material pendukung. Kalau dulu gentingnya genting asli dari Belanda, kini diganti dengan genting asbes buatan imitasi dari genting aslinya walau dengan kadar berat yang sangatlah ringan. Dengan begitu, genting asbes itu mudah terbang dan dilayangkan oleh angin puting beliung.
Pemilik Bungalow adalah teman kerjaku di perusahaan milik orang Belanda N.V. Polendam Drill. Perusahaan yang bergerak di bidang industri susu kaleng dan biskuit ini dibangun di Tangerang dekat Jakarta dengan pertimbangan biaya tenaga kerja murah. Sedangkan mayoritas pemasaran produk Polendam Drill adalah Eropa Barat dan Eropa Timur. Sebagai kecil di antaranya dieksport juga ke daerah Amerika Selatan, seperti ke Argentina, Chili dan Peru. Memang aku belum terlalu lama bekerja di perusahaan milik keluarga Mister Hans ini, tapi karena aku rajin bergaul di dalam dengan para petinggi, maka aku dikenal Iuas dan banyak teman orang asing. Hal ini kudapat karena bakatku sebagai pianis. Aku mampu bermain piano dengan baik dan menyenangkan kaum borjuis pemilik dan petinggi perusahaan. Kemampuanku bermain piano itu kujalani sejak aku kelas lima sekolah dasar di Yogyakarta.
Saat itu ayahku bertugas di Yogya sebagi komandan Kodim dan aku dikursuskan piano dengan ibu Sudiatsih, dosen Akademi Musik yang sangat pakar memainkan piano klasik itu. Dari pelajaran yang diberikan Ibu Sudiatsih lah maka aku mampu membaca non balok, not angka dan bermain musik klasik. Aku sangat mahir memainkan lagu-lagi ciptaan Bach, Mozard, Chopin dan Bethoven. Bahkan sambil aku menyanyi, aku bisa menghibur tamu-tamu Belanda yang datang ke perusahaan. Nah karena bakat inilah maka aku banyak disenangi, dikagumi dalam perusahaan. Bahkan dalam satu bulan aku ambil waktu tiga hari utnuk mengajar piano anak big boss perusahaan, yaitu Noni Christina Meyer, anak Tuan Calvin Mayer, komisaris utama Polendam.
Pukul 21.00 angin puting beliung berhenti. Bersamaan itu pula, hujan perlahan tapi pasti mulai mengecil. Hanya titik-titik kecil yang kami rasakan di dalam bungalow. Namun air mengembang di mana-mana karena kebocoran dari atap yang terbang. Pak Samin, penjaga bungalow sampai semalam itu tidak muncul juga. Memang sore harinya, sebelum terjadi angin puting beliung Pak Samin pamit ke Pasar Cisarua untuk membeli bumbu-bumbu dapur. Pak Samin naik motor Honda bebek bersama anak laki-lakinya yang sudah remaja ke pasar yang ada di pinggir jalan raya Puncak Pass itu. Istri Pak Samin meninggal dunia di bungalow itu pada tahun 2002 lalu. Anak perempuannya yang sudah gadis, yang segera menikah, juga meninggal di bungalow itu pada tahun 2003, setahun setelah ibunya wafat. Pada tahun 2004, anak bungsu Pak Samin yang baru berumur lima tahun, juga meninggal di bungalow itu. Pada tahun 2005, anak nomor tiga Pak Samin, juga meninggal di bungalow yang sama.
Semua anak-anak dan istri Pak Samin meninggal secara misterius. Kata dokter terkena sakit jantung, tapi dalam riwayatnya, tidak ada satupun keluarga Samin itu yang menderita gangguan jantung sebelumnya. Semua cerita misterius itu diturunkan oleh Pak Samin saat kami baru datang di bungalow. Yaitu pada saat sore hari pukul 16.00, dimana kami ngopi bareng di cafe samping timur bungalow. Pak Samin punya kamar dengan cafe itu dan dialah yang melayani setiap tamu yang mau ngopi dan makan nasi goreng di cafe bungalow. Wajah Pak Samin memang agak unik bahkan cenderung terlihat seram. Matanya besar dan hidungnya sangatlah pesek. Sementara kupingnya panjang nyaris mirip kuping kucing, tegak ke atas. Pak Samin mengaku lahir di kaki Gunung Pangrango itu, tidak punya ayah dan tidak punya ibu.
"Kata orang, saya ini adalah bayi yang dibuang dari hasil hubungan gelap. Saya dibuang di air terjun dalam sebuah kardus minuman mineral. Kata yang menemukan, saya mengapung di permukaan air bawah curug pengantin dalam keadaan tertawa, bukan menangis. Lalu tubuh saya yang berselimutkan handuk, digendong dan diselamatkan ke rumah Dokter Liem Koen di Cisarua. Hal itu terjadi pada tanggal 13 Maret tahun 1956, kurang lebih sehari setelah saya lahir, tanggal 12 Maret 1956!" cerita Pak Samin, panjang lebar.
Batinku teriris mendengar keterangan jujur dan terbuka dari penjaga bungalow milik Mister Hans ini. Nyaris tanpa ekspresi sedih, lelaki berumur 50-an tahun itu menceritakan kisah hidupnya yang begitu mengenaskan. Kegetiran hidupnya itu ternyata tidak berlangsung lama, dimana dia diselamatkan oleh keluarga dokter Liem Koen dan bisa bersekolah sampai SMA. Begitu tamat SMA, dokter Liem Koen meninggal dunia dan Samin remaja bekerja di bungalow Primadona milik keluarga Belanda ini dan menikah hingga punya tujuh anak. Keadaan keuangan Samin cukup baik, dia bisa beli beberapa ratus meter tanah pertanian di daerah itu dan menikahi gadis cantik Cisarua bernama Lies Maimunah. Tapi sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama singgah dalam kehidupan Samin. Sebab di masa tuanya, tangan penderitaan hidup kembali menjamah batinnya. Derita duniawi kembali datang kepada Samin, dimana kemudian sejak tahun 2000-an, satu persatu anak dan istrinya meninggal berturut-turut di bungalow Primadona itu. Samin menerima kematian keluarganya itu sebagai ujian Tuhan. Allah telah mentakdirkan anaknya meninggal, istrinya wafat saat dia benar-benar membutuhkan mereka.
Sekarang, sebagian anaknya sudah menikah dan tinggal di kota besar, baik di Bandung maupun di Surabaya. Sementara Aldi yang sudah bujangan, satu-satu anaknya yang masih tersisa bersamanya. Aldilah satu-satunya anak yang dekat dengannya kini dan banyak membantunya dalam urusan bungalow tua itu. Samin menceritakan, bahwa sebenarnya anaknya bukanlah sakit jantung, tapi meninggal karena dikerjai oleh hantu bungalow. Hantu bungalow itu adalah hantu dari Belanda yang bermukim tetap di bungalow, yang setiap malam-malam tertentu muncul dan menakut-nakuti orang.
"Anak-anak dan istri saya meninggal karena kaget melihat sosok hantu itu. Mereka tidak kuat pada keseraman sosok hantu itu hingga jantung mereka berhenti kerja dan meninggal. Sedangkan saya, sudah ratusan kali melihat hantu itu, biasa saja, saya tidak takut malah saya selalu menantang dia berkelahi. Eh enggak tahunya bukan dia menghajar saya, tapi dia kabur ketakutan. Hantu itu takut kalau kita melawan dia. Dia takut kalau kita berani sama dia. Maka itu, saya pesan, bila ibu dan bapak betemu hantu di bungalow ini, jangan takut padanya, lawanlah dia, dia akan terbirit-birit menghilang karena takut!" cerita Samin.
Omongan Samin ini kurasakan sebagai isapan jempol belaka. Kang Tisna yang sangar rasional, tertawa terpingkel-pingkel mendengar cerita Pak Samin itu. Jujur saja, kami berdua tidak percaya pada eksistensi hantu yang dimaksud. Hantu itu tidak ada di muka bumi ini. Yang ada hanya jin dan iblis, keduanya tidak terlihat dan tidak bisa menampakkan diri mereka, ada tapi tidak mampu maujud karena immaterial sifatnya.
"Bohong, mana ada hantu di bungalow ini. Pak Samin mengigau dan begitu cara berfikirnya orang kampung kata Kang Tisna, padaku, saat kami masuk ke kamar bersiap untuk mandi sore.
Pukul 23.45 kamis malam itu cuaca benar-benar membaik. Langit mulai terlihat keputihannya karena ada bias sinar bulan dari ujung gunung. Sementara listrik kembali menyala dan lampu taman menerangi halaman. Kami melihat jelas pohon-pohon yang tumbang di jalanan. Dalam keadaan bungalow yang masih basah kami beranjak masuk kamar tidur. Untung atap kamar tidak bocor dan ruang peristirahatan kami selamat dari banjir. Saat kami berdua merebahkan diri, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu bungalow.
"Nah, itu pasti Pak Samin sudah datang bersama anaknya", celetukku. Kami berdua bangun lalu menghambur ke pintu depan. Begitu pintu dibuka, ternyata tidak ada orang sama sekali disitu. Kami melihat kiri, kanan, depan dan setiap penjuru, tidak ada siapapun di situ. Kami berdua memanggil nama Pak Samin, namun tidak pula ada jawaban. Pak Samin ternyata belum pulang dan masih di Cisarua menjelang tengah malam itu. Karena tidak ada orang, pintu bungalow kembali kami tutup dan kami masuk kamar lagi. Belum sempat merebahkan diri, tiba-tiba pintu diketuk lagi. Bahkan kali ini ketukan itu semakin keras. Kami kembali ke depan dan membukakan pintu yang ternyata tidak ada orang lagi. Setelah menutup pintu, Kang Tisna membuka radio yang ternyata acara siaran misteri. Dengan suara lantang dan berat ditingkahi pula suara musik horor, tiba-tiba penyiar berkata.
"Saya harap Anda berhati-hati, sebab di belakang Anda ada sosok makhluk gaib bermuka rata dengan jubah hitam dan jari-jarinya seperti gunting!" kata penyiar. Setelah itu, suara hentakan piano musik seram mengagetkan kami. Lalu aku mematikan radio itu dan melemparkan diri ke ranjang. Jantungku berdebar hebat dan nyaliku mulai ciut.
"Kang, jangan-jangan apa yang diomongin Pak Samin itu benar adanya. Bahwa, di bungalow ini ada hantu yang menetap dan ingin berkenalan dengan kita. Kang, janji ya, jangan takut pada hantu itu, begitu pesan Pak Samin. Bila kita takut kita dianiaya olehnya, jika kita berani, justru dia yang takut. Oke?" imbuhku pada Kang Tisna, dengan bibir yang begetar. Beberapa saat kemudian, pintu kembali diketuk. Kali ini ketukannya semakin keras dan kencang sambil ditimpali pula oleh suara gerungan seperti suara harimau.
"Wah itu suara macan Kang, jangan-jangan ada macan Taman Safari yang lepas dan keluar ke sini!" desisku.
Kami serempak bangun dan menghambur lagi ke pintu depan. Dengan jantung bergetar, kami membuka pintu dengan sisa-sia keberanian yang ada. Duh Gusti, di depan kami berdiri laki-laki berjubah hitam, bermuka rata dan jemarinya panjang seperti gunting. Jantung kami begetar hebat dan bulu kudukku berdiri seketika bahkan aku sampai terkencing-kencing karena takut. Apa yang diceritakan Pak Samin benar adanya. Apa yang disebut penyiar misteri tadi juga benar adanya. Malam itu benar-benar menjadi malam yang horor. Keinginan kami untuk berbahagia di hari pernikahan ini tiba-tiba sirna disergap oleh hantu bungalow yang menakutkan itu.
Dengan memberanikan diri secara terpaksa, Kang Tisna menantang hantu muka rata itu. "Hei kamu berani menakut-nakuti kami, kau akan menerima resikonya. Lihat ini, aku memegang Al Qur'an Stambul dan ayat-ayat suci ini akan membakar kamu. Bahkan kamu akan dikirim ke neraka jahanam oleh Allah. Kamu akan dilaknat sampai kiamat. Mau?" bentak Kang Tisna, tegar dan tegas. Puji Tuhan, benar saja hantu itu ternyata bertekuk lutut dengan merendahkan dirinya di tanah lalu menghilang seperti angin.
"Tenang Din, hantu itu kabur ketakutan dengan ayat-ayat suci yang ada dalam Qur'an Stambul ini. Buku suci ini dipinjamkan oleh Pak Samin tadi sore kepadaku, sebelum dia pergi meninggalkan bungalow", kata kang Tisna.
Malam itu, walau kami sudah aman dari gangguan hantu muka rata yang bertubuh tinggi besar itu, tapi kami tak dapat memejamkan mata. Rasa cemas dan gundah gulana terus menghantui kami hingga pagi hari, sampai azan subuh terdengar dari langgar dan kami pun sholat subuh berjema'ah. Pada jam sembilan pagi Pak Samin sudah ada di cafe dan kami pamit untuk pulang ke Jakarta. Kami akan pindah tempat bulan madu, yaitu ke pinggir utara Jakarta untuk booking di Putri Duyung yang sama dari gangguan hantu. Pak Samin menceritakan bahwa pada saat bencana alam terjadi, dia menolong keluarga istrinya yang terkena longsor dan rumahnya rubuh sebagian. Untung peristiwa itu tidak menelan korban nyawa manusia, kecuali dua kambing dan lima ekor ayam mati tertimbun longsoran bukit.
Kami menceritakan tragedi mengerikan saat bertemu makhluk gaib penghuni bungalow kepada Pak Samin. Pak Samin terpingkal mendengar kisah ini dan merasa tidak percuma meminjamkan Qur'an Stambul miliknya itu pada Kang Tisna. Bahkan buku suci itu ternyata diyakini Pak Samin sebagai alat paling ampuh mengusir roh halus maupun roh yang maujud.
"Bagus kalian tidak takut dan siap mental menghadapinya. Jika kalian takut, saya pastikan kalian akan bernasib sama dengan istri dan anak-anak saya, yaitu terserang jantung karena kaget dan takut melihat muka rata yang seram itu. Alhamdulillah kalian selamat!" lirih Pak Samin. Pukul sembilan lewat dua puluh mobil kami keluar meninggalkan bungalow dan meluncur ke Jakarta. Mobil itu bisa beranjak setelah Pak Samin memotong kayu-kayu besar penghalang itu dengan gergaji mesin miliknya yang tersimpan di gudang belakang.
Tonton juga serunya film horor bertema bulan madu diteror hantu dengan judul Bisikan Jenazah.