Jumat Legi, 11 Oktober 2024
Perbedaan waktu antara alam nyata dengan alam malakut minimal setara dengan ungkapan yang difirmankan allah swt, yakni sehari = 1000 tahun. Bagaimana jika anda masuk ke dalam alam gaib...?
Alam semesta sebenamya cuma terdiri dari 2 alam, yaitu: Yang Gaib Mutlak dan Yang Nyata. Yang Nyata terdiri dari alam Jabarut, alam Malakut dan alam Fisikal. Pengertian yang nyata merujuk pada pengertian munculnya waktu dan cahaya Nur Muhammad yaitu pada t=10-70 detik. Alam Jabarut dimulai dati t=10-70 sampai t=10-53 detik. Namun alam Jabarut ini terbagi menjadi 6 langit dan bumi. Sedangkan alam Malakut dimulai dari t=10-53 sampai t=10-40 detik.
Alam Nyata sendiri dimulai dari t=10-40 sampai waktu saat ini yaitu 14,6 milyar tahun sejak Big Bang. Alam nyata sendiri adalah alam yang tertutup namun mengembang dengan cepat. Perbedaan waktu antara alam nyata dengan alam Malakut minimal setara dengan ungkapan yang difirmankan Allah SWT, yakni sehari = 1000 tahun. Jadi karena itu dari t=10-40 detik sampai t=14,6 milyar tahun sebenarnya mempunyai relativitas waktu sebanding dengan 1000 tahun bila dibandingkan dengan alam Malakut pertama yaitu alam Barzakh.
Dengan bentuk yang melingkar demikian, maka alam nyata sebagai langit ke-7 sebenamya disokong oleh 6 alam yang gaib. Hal ini dikiaskan sebagai sarang laba-laba dalam surat Al-Ankabut (QS 29:41). Ketika t=10-40, ledakan besar menumpahkan banyak materi dari alam Malakut sehingga ruang-waktu dilengkungkan dengan cepat oleh karena pengisian materi tersebut. Dengan demikian, ruang-waktu nyata menjadi sangat melengkung terhadap ruang-waktu alam gaib (Malakut, Jabarut dan Gaib Mutlak). Bahkan tegak lurus terhadap alam gaib. Akibatnya bentuk tatanan alam itu melingkar seperti cakram dengan diskontinuitas di masing-masing tatanan langit-bumi, sehingga terdapat konstalasi lingkaran dalam, lingkaran tengah, dan lingkaran luar yang mengkonfigurasikan Yang Awal dan Yang akhir,Yang Lahir dan Yang Bathin, dan meliputi segala sesuatu (QS 57:3).
Nah, berikut ini merupakan sebuah ilustrasi yang kami nukilkan dari kesaksian nyata seorang sahabat yang pemah terjebak di alam dimensi gaib. Beginilah kisahnya... Pada suatu hari Bambang bersepakat dengan teman-temannya kelompok petualang, jumlahnya ada lima orang termasuk dirinya, untuk berpetualang lagi dengan berkemah di daerah Malang selatan. Daerah yang dituju merupakan pinggir pantai tapi juga pinggir perbukitan. Memang menurut cerita Bambang daerah tersebut masih sangat alami karena jarang dijamah manusia. Pemandangannya betul-betul sangat mempesona. Mereka berangkat naik bis dari kota Sidoharjo. Karena saat berangkat sudah agak siang, sehingga tiba di daerah tujuan hari sudah sore.
Sesampainya di lokasi seperti biasa diadakan pembagian kerja. Ada yang bertanggung jawab mendirikan tenda, ada yang membersihkan lokasi, ada yang mencari air, sedangkan Bambang mendapat tugas mencari kayu bakar dipinggir hutan dekat lokasi perkemahan tersebut. Bambang segera berangkat ke pinggir hutan untuk mencari dahan-dahan ataupun ranting-ranting pohon yang berjatuhan. Tapi hari itu rasanya ia menemui sial. Dahan maupun ranting satupun tidak ditemukannya. Tidak seperti pengalaman yang sudah-sudah kalau sedang berkemah di tempat lain, ia mudah memunguti kayu bakar di lereng hutan. Terdorong rasa jengkel dan merasa bertanggungjawab terhadap tugasnya, maka Bambang pun mencari kayu baker sampai agak masuk ke dalam hutan.
Anehnya, sekian lama berputar-putar masih belum juga ditemuinya dahan maupun ranting yang kering. Karena kesal dan sudah kepalang tanggung, Bambang masuk sekalian ke hutan. Apalagi ia merasa hari belum gelap. Kebetulan ia memang tidak memakai jam tangan. Setelah Bambang masuk agak ke dalam hutan, baru ditemuinya beberapa dahan dan ranting meski masih agak basah. Namun ketika ia sedang asyik-asyiknya mengambil ranting-ranting itu, tahu-tahu ada seorang kakek yang menegumya. Entah dari mana datangnya si kakek tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. "Golek kayu bakar dinggo opo to, Lek (Cari kayu bakar untuk apa to, Nak)?" tanya kakek itu. Sebetulnya, Bambang agak terkejut dengan keberadaan si kakek yang tiba-tiba, tapi ia langsung menjawab, "Kangge masak, Mbah! Kulo sak konco kemah teng ngandap ngriku (Untuk masak, Mbah! Saya dengan teman-teman kemah di bawah situ )." "La kayu teles ngono kok arep dinggo masak, opo yo iso murup (La kayu basah gitu kok mau untuk masak, apa ya bisa nyala)?" Bambang menjawab lagi, "La wontene kajeng nggih niki, Mbah! Nggih mangke sak saget-sagete diurupaken (Adanya kayu ya ini, Mbah! Ya nanti diusahakan dinyalakan)."
"Wis ngene wae, Lek! Ayo melu Mbah nang omahe Mbah, aku duwe kayu bakar akeh tur garing-garing,. Mengko yen mbok nggo masak malah cepet mateng. Piye, gelem ora kowe (Sudah gini saja, Nak! Ayo ikut Mbah kerumah Mbah, saya punya kayu bakar banyak lagian sudah kering-kering. Nanti kalau kamu pakai masak malah cepat matangnya. Gimana, mau nggak kamu)?" Bambang segera menjawab, " Daleme Mbah pundi, menawi tebih mangke kulo saget kedalon dumugi kemah, mesakaken konco-konco kulo dangu ngentosi (Rumahnya Mbah di mana, kalau jauh nanti saya bisa kemalaman sampai dikemah, kasihan teman-teman saya lama menunggu)." "Ora adoh kok, Lek! Mung rodo mlebu alas kuwi sitik, wis mulihe mengko tak terke nek kowe wedi kesasar (Gak jauh kok, Nak! Hanya agak masuk hutan ini sedikit, sudah nanti pulangnya aku antar kalau kamu takut lupa jalan)."
Setelah dipikir-pikir, apa salahnya kalau Bambang menyambut baik tawaran si kakek. Ini daripada kayu yang didapat basah semua, dan pasti susah dipakai masak. Kemudian berjalanlah mereka berdua. Dan memang tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di sebuah rumah kecil, tapi halamannya cukup luas dan banyak ditumbuhi tanaman beraneka macam, seperti bunga-bungaan yang sangat indah. Kenyataan ini mengesankan rumah tersebut asri, dan sangat nyaman untuk ditinggali. Di sebelah kiri rumah agak ke belakang memang ada tumpukan kayu-kayu kering yang banyak sekali. Menurut perasaan Bambang saat itu, perjalanannya dengan si kakek sepertinya tidak sampai 10 menit, jadi belum terlalu sore. Sayangnya Bambang waktu itu memang tidak memakai jam tangan.
Singkat cerita, setelah mencicipi ketela rebus dan wedang jahe. Bambang kemudian berpamitan kepada si kakek. Berangkatlah ia sambil memanggul kayu bakar secukupnya dengan di antar si kakek. Mereka berjalan beriringan, kadang-kadang kalau jalannya sempit si kakek berjalan di belakang Bambang. Dalam perjalanan ini mereka tidak bicara sepatah katapun. Sedangkan Bambang sendiri sempat berkhayal dalam hati bahwa teman-temannya nanti pasti senang, karena ia datang dengan membawa kayu bakar cukup banyak. Namun, saat itu sempat terlintas dalam hatinya suatu perasaan aneh, bahwa ia membawa kayu bakar cukup banyak tapi kok tidak merasa berat dan juga tidak merasa lelah. "Ah, mungkin karena saya senang dapat kayu bakar banyak dan lagi tadi saya kan habis makan ketela rebus cukup banyak, ditambah wedang jahenya segar sekali," bantah Bambang dalam hati.
Setelah berjalan kira-kira 10 menit, kemudian sampailah Bambang di pinggir hutan persis tempat pertama ia bertemu dengan si kakek tadi. "Lek, Mbah ngeteme kowe tekan kene wae yo! Mesalme mbah wedok ora ono kancane nang omah, lan maneh kowe rak wise ling to dalan nang panggonane kanca-kancamu mau? (Nak, Kakek ngantar kamu sampai sini saja ya! Kasihan Nenek tidak ada temannya di rumah, dan lagi kamu kan sudah ingat to jalan menuju tempat teman-temanmu tadi)?" kata si kakek. Bambang segera menjawab, " Oh, nggih Mbah matur suwun sanget, ngrepotaken Mbah mawon niki, kulo sampun enget kok Mbah merginipun (Oh, Mbah terima kasih sekali, merepotkan Mbah saja ini, saya sudah ingat kok Mbah jalannya)." Kemudian Kakek tersebut berjalan balik, sedang Bambang mempersiapkan diri mau meneruskan perjalanan ke kemah. Hanya saja Bambang merasa aneh, sebab bawaan kayunya sekarang kok terasa agak berat. "Ah, mungkin saya sudah mulai lelah," pikir Bambang.
Setelah berjalan beberapa langkah Bambang sempat menoleh lagi ke belakang untuk melihat si kakek. Tapi sosok tadi sudah tidak kelihatan lagi, padahal baru satu menit. Tapi ya sudahlah! Mungkin kakek itu lewat jalan pintas. Pikir Bambang. Setelah Bambang keluar dari hutan, terdengarlah sayup-sayup azan dari sebuah masjid yang cukup jauh dari lokasi tersebut. Ia berpikir, "Wah agak terlambat sedikit. Tapi tidak apa-apa. Nanti begitu datang aku akan langsung sholat magrib berjamaah, baru setelah itu masak-masak," pikir Bambang lagi. Tapi sungguh aneh! Begitu Bambang sampai di tempat perkemahan, ia sangat kecewa, Ternyata teman-temannya sudah tidak ada semua, bahkan kemahpun juga sudah tidak ada di tempat itu.
"Bagaimana to teman-teman ini, masak gara-gara saya agak terlambat cari kayu bakar saja, saya sudah ditinggalkan begitu saja," batin Bambang dengan penuh kekecewaan. Kemudian ia meletakkan kayu bakar, dan tanpa sengaja ia melihat bekas tungku buatan yang sudah tinggal abunya saja. Kelihatannya sudah cukup lama ditinggalkan oleh pembuatnya. Kembali Bambang berpikir: "Apa mungkin teman-teman menunggu aku terlalu lama, sehingga mereka pergi? Padahal seingatku hanya beberapa lama saja aku pergi dengan kakek itu. Mungkin hanya sekitar 2 jam. Masak sih aku sudah ditinggal seenaknya saja." Dalam hati Bambang sempat jengkel dan sedikit emosi. Dan karena tak ada handphone, maka akhirnya Bambang memutuskan untuk pulang saja ke rumahnya di Sidoarjo. Sambil memendam kekesalan, ia bergegas berjalan menuju desa terdekat.
Sekitar setengah jam ia sudah sampai di rumah kepala desa, kemudian ia menceritakan kalau mau kemah tapi saat ia mencari kayu bakar, ia sudah ditinggal oleh kawan-kawannya. Si kepala desa sempat menjelaskan, "Adik ini temannya adik-adik yang kemah itu, ya? Memang teman-temanmu beberapa hari yang lalu sempat memberikan laporan kemari kalau salah satu temannya ada yang cari kayu bakar namun tidak kembali. Mereka kemudian pulang untuk memberi tahu orang tua adik. Saat ini kami juga menugaskan beberapa pamong untuk mencari adik di hutan tersebut, karena hutan tersebut memang agak angker."
Betapa terkejutnya Bambang mendengar penjelasan ini. Namun ia tidak begitu saja percaya, sebab bisa saja teman-temannya itu ingin membuat dagelan yang tidak lucu. "Benar-benar keterlaluan mereka! Masak baru ditinggal pergi sekitar 3 jam saja sudah pakai lapor kepala desa, juga pakai diadakan pencarian segala. Benar-benar sontoloyo mereka semua," geram Bambang dalam hati. Setelah bertemu kepala desa, ia pun cepat-cepat berpamitan. Kemudian dengan di antar perangkat desa ia menuju kota kecamatan yang jaraknya tidak begitu jauh. Sampailah Bambang di terminal angkutan desa yang kebetulan ada bis yang mau menuju ke kota Malang. Sesampainya di kota Malang, Bambang langsung naik bis yang menuju ke Surabaya, kemudian ia turun di kota Sidoharjo. Sampai di rumah waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 21 malam. Tapi di rumah orang tua Bambang, yang sebut saja dengan nama Pak Hadi, masih kelihatan lampu-lampu yang terang. Kelihatannya baru saja ada selamatan atau kenduri.
"Ada selamatan apa ya di ruman?" batin Bambang. Begitu sampai di teras rumah ia ketemu dengan Bapaknya. Sesaat Pak Hadi tertegun, kemudian bertanya, "Apa benar kamu Bambang, anakku?" Bambang segera menjawab, "Aku Bambang. Ada apa ini, Pak?" Sementara itu, mendengar ribut-ribut di teras rumah, ibunya Bambang keluar. Begitu melihat sosok anaknya ia langsung menjerit terus pingsan. Para tetangga akhimya berdatangan, termasuk pula teman-teman Bambang yang tadi ikut kemah. Begitu melihat Bambang, di antara mereka ada yang sebagian langsung balik lagi, ada yang tetap disitu sambil bertanya-tanya dengan lainnya apakah ini Bambang betul apa bukan? Tapi masak sih ada hantu yang menginjak lantai? Ada juga yang berkomentar: Masak ada hantu tidak takut terang? Maklum saja, waktu itu rumah Pak Hadi memang sedang banyak lampu nyala, karena memang baru diadakan selamatan 7 harinya Bambang. Tahu ribut-ribut begitu Bambang akhirnya bisa menduga permasalahan yang sedang terjadi. Kemudian ia langsung menenangkan dengan mengatakan, "Saya ini Bambang Tamvan. Saya belum mati. Nanti akan saya ceritakan apa sebenarnya yang sudah terjadi dengan saya."
Dari kisah nyata ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan waktu antara alam nyata dengan alam gaib. Dalam kisah di atas 7 hari di alam nyata, ternyata hanya 2 jam di alam gaib. Hal ini ternyata juga disebutkan di dalam Al Quran (QS. Al Ma'arij : 4), yang terjemahannya sebagai berikut: "Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap ) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun." Maksudnya adalah : Malaikat-malaikat dan Jibril jika menghadap Tuhan memakan waktu satu hari, yang apabila dilakukan oleh manusia memakan waktu lima puluh ribu tahun."