Kamis Legi, 29 Mei 2025
Kisah Nabi Ibrahim menyembelih anaknya dalam Al-Quran, terutama yang melibatkan Nabi Ismail, adalah salah satu kisah penting yang diabadikan dalam Surah As-Saffat (37) ayat 100-110 berikut ini :
37:100 : Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang saleh.
37:101 : Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).
37:102 : Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka bagaimanakah pendapatmu?" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyā Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."
37:103 : Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah).
37:104 : Lalu Kami panggil dia, "Wahai Ibrahim!
37:105 : Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu."Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
37:106 : Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
37:107 : Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
37:108 : Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,
37:109 : "Selamat sejahtera bagi Ibrahim."
37:109 : Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dalam kisah ini, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail, sebagai ujian keimanan dan kesetiaan kepada-Nya. Nabi Ibrahim dan Ismail, dengan penuh ketundukan, mengikuti perintah Allah, bahkan saat Ismail bersedia untuk disembelih. Namun, pada saat Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba.
Hikmah utama yang diambil dari kisah Nabi Ibrahim menyembelih Ismail adalah :
Nabi Ibrahim diuji ketauhidannya kepada Allah. Tauhid artinya meniadakan apapun selain Allah. Dalam hal ini Nabi Ibrahim mampu meniadakan cintanya kepada selain Allah. Hal ini adalah lazim terjadi sampai hari ini dimana kita sebagai orang tua begitu mencintai anak atau keluarga kita. Saking cintanya kita kepada keluarga, seringkali cinta kita kepada Allah dinomorduakan sehingga yang ada dipikiran adalah keluarga, yang ada di hati adalah keluarga.
Padahal dalam konsep bertauhid, yang ada di pikiran harusnya Allah dan yang ada di hati hanyalah Allah. Jika masih ada selain Allah yang ada di pikiran dan hati kita, maka artinya kita telah melakuan kemusrikan yang tidak kita sadari atau syirik khofi (samar). Meskipun syirik kecil namun jika tidak disadari dan disingkirkan maka akan menjadi gunungan dosa dan ini yang bisa menjadi hambatan saat pulang kembali kepada Allah. Nabi Ibrahim memberikan kita teladan yang baik bahwa yang dicintai hanyalah Allah semata sehingga ketika ada perintah menyembelih putranya maka beliau pun menyanggupinya.
Cobaan terbesar dalam hidup kita hakekatnya adalah orang-orang yang terdekat atau keluarga kita sendiri. Bahkan sejak Nabi Adam, sudah terjadi masalah keluarga yaitu anaknya Nabi Adam membunuh saudaranya sendiri (peristiwa Habil-Qabil). Cobaan-cobaan dalam keluarga tentu banyak sekali ragamnya mulai dari masalah cinta hingga ekonomi. Jika kita mengalami masalah-masalah ini maka harus disadari bahwa semua terjadi karena adanya peran Allah. Saat kita mendapatkan nikmat dari Allah maka ada peran Allah disitu, saat kita mendapatkan cobaan hidup yang tidak mengenakan maka ada juga peran Allah disitu. Jadi apapun yang kita hadapi tiada lain itu semua datangnya dari Allah dan karena itulah kita harus ikhlas saat mendapat musibah dan tidak boleh sombong saat mendapatkan nikmat karena dari Allah nikmat itu datang. Inilah konsep bertauhid yang murni yaitu selalu melihat Allah di setiap aspek kehidupan.
Berkurban hewan ternak hakekatnya adalah berbagi kepada sesama. Jadi ibadah ini erat kaitannya dengan hubungan kepada sesama manusia (hablum minannas) karena dalam surat Al-Hajj (22) ayat 37 dikatakan : "Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu."
Daging yang dibagikan kepada kaum dhuafa itulah yang menjadikan pahala sehingga hakekat ibadah kurban adalah untuk menyembelih sifat kemelekatan kepada duniawi. Bahwasanya uang, rumah atau harta apapun seperti anak dan pasangan adalah milik Allah dan manusia tidak boleh meng-klaim memilikinya. Dengan kita sering berbagi kepada sesama diharapkan sifat pelit/kikir ini hilang dan momentum ibadah kurban adalah momentum yang tepat untuk mengingatkan kita semua untuk melepaskan keterikatan kita pada harta duniawi karena yang dibawa saat kita meninggal dunia bukanlah harta namun ketakwaan atau amal ibadah.
Saat masih hidup di dunia segerlah sadari bahwa apapun yang kita miliki sekarang sesungguhnya bukanlah milik kita melainkan milik Allah dan untuk itu segeralah kembalikan semuanya kepada Allah. Cirinya jika kita mampu mengembalikan semua titipan kepada Allah adalah sudah tidak ada adanya rasa kuatir atau cemas kehilangan harta dunia. Harta yang dititipkan Allah kepada kita tentu boleh kita pelihara namun jangan ada rasa memiliki apalagi sampai takut kehilangan karena pada akhirnya di penghujung kehidupan kita mau tidak mau setiap manusia akan meninggalkan semua titipan itu.
Saat meninggal dunia, kita akan selamat jika kita mampu melepas semua keterikatan kita kepada selain Allah. Jika kita meninggal dengan berserah diri, ikhlas meninggalkan harta dan keluarga yang dititipkan kepada kita maka kita meninggal dalam keadaan bertauhid kepada Allah. Hakekat kehidupan adalah berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah (innalillahi wa inna ilaihi rojiun). Bahwa yang dituju dalam hidup hanyalah Allah dan bukan selainNya.