Kamis Pahing, 21 November 2024
Sesungguhnya aku tak ingin menceritakan peristiwa ini pada siapa pun. Bagiku peristiwa ini adalah aib yang tak pantas untuk diketahui oleh orang banyak. Tapi di balik serentetan peristiwa yang menyeramkan ini ada hikmah yang sesungguhnya bisa dipetik oleh kita bersama. Bahwa semanis apapun bujuk rayu iblis, pasti hanyalah impian yang menyesatkan. Pada saatnya, manusia yang terbujuk oleh rayuan iblis itu akan tersesat dan menjadi penghuni neraka. Sugeng adalah salah satu dari sekian banyak orang yang terbujuk rayu iblis itu. Dua puluh tahun lalu, ia hanya seorang buruh yang pekerjaannya serabutan tak karuan. Kadang ia mendapatkan pekerjaan kadang pula tidak. Tak jarang untuk sekedar mencari makan saja Sugeng harus banting tulang seharian dengan hasil yang tidak memuaskan. Bahkan ia dan keluarganya pernah seharian tidak makan lantaran tak mendapatkan uang sepeser pun.
Sebagai teman sejak kecil aku tahu semua yang dilakukan Sugeng. la adalah orang yang berterus terang dalam banyak hal padaku. Aku menjadi salah satu orang yang kerap dijadikannya tempat mengadu setiap ia mendapatkan masalah. Karena kepadaku pula ia kerap meminta bantuan ketika masih dalam keadaan susah. Sugeng sering kali meminjam uang atau minta makanan untuk isteri dan anaknya. Hari itu ia bercerita padaku, ia baru saja pulang dari rumah temannya di kota Purwokerto. Temannya itu mengajak Sugeng untuk melakukan ritual pesugihan di sebuah pantai di Cilacap, Jawa Tengah. Sugeng menceritakan itu padaku untuk minta pendapat apakah ia harus mengikuti temannya itu atau tidak. Tentu saja aku langsung menjawab tidak.
"Untuk apa kau lakukan itu. Meski pun kau bisa kaya raya, tapi pada suatu saat kau akan sengsara dan menjadi penghuni neraka selamanya," jawabku.
Sugeng termenung mendengar jawabanku. Tapi jelas dari raut wajahnya, ia masih ragu untuk mengikuti saran temannya atau mengikuti apa yang baru saja aku katakan.
Tapi tujuh bulan kemudian, aku melihat perubahan yang amat drastis dalam kehidupan teman akrabku itu. Penampilannya sudah berubah tidak dekil lagi. Aku melihat ia menggunakan pakaian yang baru semuanya. Celana, baju sepatu dan semua yang dia kenakan masih nampa dalam keadaan baru.
"Geng, ke mana saja kau?" Tanyaku ketika bertemu di jalan.
"Har, kebetulan sekali. Ada yang ingin aku ceritakan padamu," tuturnya sedikit berbisik Lalu ia mengajaku mampir di sebuah warung kecil di pinggir jalan itu.
Di warung itulah ia menceritakan semua perjalanan hidupnya selama 7 bulan itu. la menjalankan ritual pesugihan di pantai Cilacap bersama temannya orang Purwokerto itu. la berhasil ditemui penghuni gaib pantai itu dan ia juga mendapatkan harta berlimpah dengan sebuah konsekwensi yang tidak ia ceritakan padaku.
"Aku terpaksa mengambil keputusan ini Har. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku tahu pada saatnya nanti aku dan istriku akan mati. Dan jika itu terjadi, aku hanya ingin menitipkan anaku saja," jelasnya.
"Astaghfirullah, Geng kenapa kau lakukan ini. Masih banyak pekerjaan halal yang bisa kau lakukan," aku setengah membentak.
Tapi Sugeng sudah mengambil keputusan. la sudah menjalankan perjanjian maut dengan iblis pantai ci1acap itu. la tidak mungkin lagi menarik perjanjian itu. Sugeng sudah menikmati harta dari iblis itu sampai batas waktu yang telah mereka sepakati. Hari berganti, tahun pun berlalu, aku mendengar kabar Sugeng sudah menjadi orang kaya yang kini tinggal di kota Banyumas. la memiliki perusahaan dan sejumlah harta yang bisa ia nikmati setiap saat. Menurut kabar, harta Sugeng itu makin hari makin bertambah dan tidak pernah berkurang. Setiap pekerjaan yang ia lakukan selalu mendapatkan keuntungan dan menghasilkan uang banyak.
Kepada Sugeng banyak tetangga yang meminta bantuan uang atau modal. Anehnya banyak pula zetangga Sugeng yang meninggal setelah mendapatkan uang atau bantuan modal darinya. Desas-desus Sugeng melakukan pesugihan pun mulai terdengar di mana-mana. Banyak orang yang berbisik-bisik kalau Sugeng melakukan pesugihan dan sudah menumbalkan tiga orang tetangganya. Hal ini tentu saja membuat Sugeng resah karena ia memang melakukan hal itu. Tapi dengan harta yang dimiliki, Sugeng selalu bisa menutupi keadaan karena banyak orang yang bergantung padanya. Ia banyak membantu para tetangganya dengan uang. la juga memiliki beberapa karyawan yang bergantung padanya. Tapi sampai kapan ia bisa menutupi Keadaan itu. Karena orang-orang di sekitarnya pun mulai curiga dan satu demi satu meninggalkan keluarga Sugeng. Tak seorang pun berani mempertaruhkan nyawa mereka untuk bekerja di rumah keluarga Sugeng. Kini 20 tahun sudah Sugeng menikmati harta kekayaan yang diberikan iblis pesugihan itu. Sugeng mulai resah mengingat perjanjian yang ia lakukan dengan iblis itu sudah mendekati hari akhir. Meski ia sendiri tak tahu kapan iblis itu akan datang menjemputnya, tapi hati kecilnya merasa saat mengerikan itu sudah dekat.
Sedang asyiknya aku menikmati segelas kopi hitam, tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam menyeruak memasuki halaman rumahku. Aku tak tahu siapa pengendara mobil itu hingga ia membuka pintunya. Sugeng keluar dari pintu depan tanpa ditemani siapapun. Langkah,kakinya yang sangat aku kenal itu masih seperti dulu, tak ada yang berubah sedikit pun. Pundaknya selalu ia goyang-goyangkan kala melangkah. Itulah ciri khas Sugeng sejak ia masih kecil dulu. Kedatangan teman akrab yang lama tak jumpa, aku langung mempersilahkannya duduk dan masuk rumah. Tapi Sugeng menolak, ia minta duduk di teras depan saja. Lalu istriku menyajikan segelas kopi dan makanan ringan. Kebetulan siang itu aku baru saja pulang dari kebun mengambil singkong.
Di tengah perbincangan, Sugeng mengeluhkan kehidupannya. la mengkhawatirkan nasib dua orang anaknya. Mungkin ini adalah firasat hatinya, bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Kepadaku Sugeng menitipkan anak-anaknya. Sepertinya ia sudah akan menghadapi kematian.
"Kau teman akrabku sejak kecil Har. Segala yang aku lakukan kau tahu semua. Bahkan yang paling rahasia sekalipun. Tapi aku yakin kau tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun," tuturnya.
Hampir satu jam Sugeng bertamu di rumahku. Selama itu banyak yang ia ceritakan mulai dari awal ia melakukan pesugihan hingga akhir resiko yang harus ditebusnya sendiri. Tapi dari sekian kekhawatiran yang ia beratkan adalah masa depan anak-anaknya. Sugeng menitipkan anak-anaknya padaku dengan sejumlah harta yang sudah ia persiapkan di bank untuk masa depan mereka.
"Har aku pamit dulu, aku tak yakin bisa bertemu denganmu lagi. Tapi aku senang punya kawan sepertimu. Titip anak-anakku ya, kau adalah orang tuanya jika aku tiada. Dan ini semua sudah aku ceritakan pula pada istri dan anak-anakku. Pada saatnya mereka akan datang ke sini dan meminta bantuanmu. Mungkin saat itu aku sudah meninggal," pintanya.
Tak ada yang bisa aku lakukan kecuali menganggukkan kepala. Aku tahu resiko apa yang harus ditanggung sahabatku itu. Aku merasa dia sudah akan menghadapi kematian. Hati kecilku merasa ini adalah pertemuanku yang terakhir dengannya. Seminggu kemudian, aku kedatangan dua orang anak-anak Sugeng. Tangis histeris langsung pecah manakala kedua anak remaja itu masuk ke rumahku. Dalam pelukanku mereka terisak tanpa bisa berkata-kata. Aku menduga, Sugeng telah meninggal.
"Om, papa dan mama meninggal," hanya itu yang kelaur dari mulut mereka disela isak tangisnya.
Istriku berusaha menenangkan anak Sugeng yang bungsu dengan memeluknya. Dalam dekapan istriku, aku melihat anak itu tetap terisak menahan tangis. Aku paham dengan perasaan mereka. Meski aku belum mengenal dekat anak-anak Sugeng, tapi mereka seperti telah dekat denganku. Dan Sugeng memang kerap menceritakan tentang diriku pada mereka. Bahkan diakhir hayatnya, Sugeng meminta anak-anaknya untuk pindah ke rumahku dan bukan ke rumah saudara-saudaranya.
Malam harinya, aku baru tahu bagaimana kejadian Sugeng meninggal. Sore itu Sugeng meminta anak-anaknya pergi ke toko untuk membeli keperluan rumah. Tak seperti biasanya, Sugeng meminta anak-anaknya untuk berbelanja di toko yang jauh. Butuh waktu sekitar dua jam perjalanan untuk bolak-balik ke toko itu. Padahal biasanya Sugeng hanya berbelanja ke toko yang dekat saja. Sepulang dari toko, dua orang anak Sugeng ini dikejutkan dengan kebakaran yang melanda rumah mereka. Tak jelas dari mana asalnya, api yang mengganas itu menghanguskan rumah megah yang dihuni Sugeng dan istrinya. Mereka tewas di dalam rumah beserta seluruh isi rumah itu. Tak ada orang yang berani menyelamatkan Sugeng atau istrinya. Api yang melahap rumah itu seperti disiram bensin yang tak henti-hentinya. Api yang mengerikan itu mengurung rumah dan meratakannya dengan tanah. Warga setempat dan para tetangga Sugeng hanya bisa menyaksikan api itu menghanguskan rumah. Tak ada yang bisa mereka lakukan, bahkan mereka berusaha untuk menjauhi rumah yang berhalaman luas itu. Tangis histeris anak-anak Sugeng pun tak bisa menyelamatkan nyawa ayah ibunya. Menjelang tengah malam, api itu baru padam dan hanya menyisakan arang dan onggokan barang-barang hitam. Hingga satu minggu peristiwa kebakaran itu berlalu, mayat Sugeng dan istrinya tak berhasil ditemukan. Warga tak bisa berbuat banyak kecuali membuat dua buah makam kosong di halaman belakang rumah Sugeng. Mereka menggali dua lubang yang kemudian diberi nisan bernama Sugeng dan Sutinah