Sabtu Pahing, 21 Desember 2024
Arus air sungai cisadane mengalir deras dari bogor ke kota tangerang yang damai. Irama ombak yang syahdu terdengar nyaman layaknya suara musik yang lembut, mengayun-ayun di gendang telingaku. Setiap senja tiba, di atas sungai berterbangan burung-burung sriti mencari ikan-ikan kecil. Burung-burung mungil yang berseliweran di atas permukaan air. Hewan berkepak panjang itu seakan menari-nari mengikuti irama gelombang sungai. Keadaan itu mempertontonkan suasana aliran air sungai yang damai. Setiap mentari tenggelam di ufuk barat, suara adzan maghrib mengumandang dari surau-surau di sekitar sungai. Beberapa orang nelayan pulang kandang dengan perahu kecil dan ikan-ikan di tangan. Mereka berumah di tepi sungai cisadane yang tenang. Rumah sederhana, gubuk-gubuk kecil dan saung-saung, berdiri di antara rerimbunan pohon mahoni dan angsana bibir sungai Cisadane. Namun ketenangan itu, belakangan, terusik oleh sering munculnya gadis bertubuh langsing memakai gaun pengantin warna putih panjang. Gadis itu diyakini warga sebagai gadis keturunan tionghoa yang menjadi makhluk hantu muka rata. Gadis itu jadi arwah gentayangan, siap menuntut balas pada manusia yang hidup. Arwah ini mencari siapa pembunuhnya dan dia ingin menuntun balas. Ini adalah sebuah kisah nyata, berikut kisahnya...
Setiap malam Jumat Kliwon arwah Tan Kim Nio, nama gadis keturunan Tionghoa itu muncul di permukaan Sungai Cisadane, daerah Serpong. Kota Tangerang Selatan. Roh berwujud wanita cantik itu bergentayangan di jembatan Cisauk dengan busana serba putih dan rambut panjang sepinggang. Tapi rambut panjang itu sering dilipat ke depan menutupi mukanya yang misterius. Roh itu bukan nampaknya bukan hanya menakut-nakuti warga sekitar, tapi juga membunuh para pembunuhnya ketika dia masih hidup. Belakangan barulah diketahui, bahwa arwah Tan Kim Nio ternyata maujud karena dendam. Dia muncul dan bergentayangan mencari para pembunuh dirinya dan ayahnya saat dirampok secara besar-besaran oleh bromocorah setempat. Ara mantan narapidana yang merampok itu bukan aja menjarah harta benda, tapi juga memperkosa Tan Kim Nio dan membunuh secara sadis ayah kandungnya, Tan Jin Ham.
Saat itu aku pulang tengah malam. Sebenarnya aku jarang sekali pulang tengah malam, kecuali bila terpaksa lembur karena di restoran tempat aku bekerja ada acara sampai tengah malam. Utamanya bila ada pesta ulang tahun keluarga, ada arisan besar dan ada reuni satu organisasi masyarakat tertentu. Pada saat aku pulang tengah malam itu, rembulan sedang terang benderang karena masuk purnama ke 14. Aku yang berdomisili di kompleks perumahan Suradita Indah, Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten ini bekerja di restoran Saung Gurame di Cipete, Pakojan, Kota Tangerang. Biasanya, setiap pukul 21.45 aku berjalan kaki sepanjang satu kilometer menyeberangi Sungai Cisadane lewat jembatan Sungai Cisadane di Cisauk menuju rumahku Kompleks Suradita. Aku biasanya naik angkot dari Warung Mangga, Panunggangan, lewat Bumi Serpong Damai (BSD) dan berhenti di Serpong pas di bibir jembatan Sungai Cisadane Cisauk.
Tapi pada malam Jumat Kliwon awal bulan lalu, aku terpaksa pulang tengah malam karena di restoran Saung Gurame ada pesta ulang tahun. Tak kurang 100 orang tamu yang membooking restoran dengan live music hingga tengah malam. Malam itu, di jembatan Sungai Cisadane, aku dikagetkan oleh suara cekikikan seorang wanita. Suara itu mula-mula pelan, tapi makin lama suara itu terdengar makin keras. Padahal malam itu jembatan begitu sepi dan sunyi. Tidak ada seorang pun yang berjalan di situ kecuali aku. Tidak ada juga kendaran roda empat ataupun roda dua yang lalu lalang. Pokoknya keadaan sangat sunyi dan sepi, kecuali suara gelombang permukaan Sungai Cisadane yang tertiup angin. Hujan lebat baru saja menyapu wilayah Serpong hingga jembatan menjadi lembab dan basah. Di lobang-lobang jembatan terlihat genangan air. Menggenang tertahan di dalam bundaran lobang.
Mendengar suara wanita yang tertawa seram itu, aku tentu saja kaget lalu mencari-cari darimana dan di mana sumber suara itu. Pikirku, bagaimana bisa ada seorang wanita berani keluar tengah malam yang sesepi dan seseram ini? Pada saat mataku masih mencari-cari, tiba-tiba suara cekikikan itu terhenti. Jantungku berdebar hebat dan rasa takut mulai menyerang batinku. Belum sempat melongok ke bibir jembatan, aku dikagetkan oleh sosok orang dari bibir jembatan sebelah utara. Dengan kasat mata dan jelas sekali aku melihat seseorang yang berdiri di bundaran tiang atas jembatan, seakan mengambang di besi beton jeruji jembatan. Sosok itu mulanya membelakangi posisiku berdiri. Posisiku yang berdiri di koridor sebelah sebelah selatan. Dengan jelas sekali di bawah sinar purnama setelah hujan lebat itu, aku menyaksikan sosok wanita bergaun serba putih dengan syal warna merah di lehernya. Perempuan itu pastilah orang gila. Atau jangan-jangan dia wanita waras tapi sedang frustrasi dan patah hati lalu mau bunuh diri di atas jembatan. Dia terlihat akan segera terjun ke sungai dan mematikan dirinya sendiri. Pikirku Aku harus menolongnya, sebelum terlambat.
Tapi masalah ini tidak mudah, karena dia berada di atas tiang-tiang jembatan, bagaimana aku bisa mengambilnya dan membawanya turun. Nampaknya, kupikir, menyelamatkan gadis itu tidak mudah, aku butuh bantuan orang banyak karena posisinya sangat sulit dijangkau. Oh Tuhan! Batinku. Dadesak rasa kasihan pada gadis malang itu. aku segera menghambur ke arahnya, aku menyeberang jalan mendekati wanita itu. Tapi gadis itu diam saja memandangi derasnya arus sungai sambi terus tertawa cekikikan. Tawanya aneh, unik dan tidak sebagaimana umumnya suara wanita. Suara tawanya soprano, tinggi melengking, persis suara wanita sedang menyanyi seriosa, klasik gaya penyanyi sebelum perang dunia ke-2, Yulia London. Tapi wanita itu diam saja saat aku menyapa dan terus memanggilnya. Dia nampak sama sekak tidak memperdulikan bahwa ada orang di belakang yang sedang mendekati dan memanggilnya.
Aku mencoba bertanya dan terus bertanya padanya. Tapi selama itu pula, gadis itu tidak bergeming sedikitpun. Makin banyak aku bertanya padanya, makin diamlah wanita itu. Beberapa saat kemudian, cekikikan pun berhenti seketika.Tapi aku tidak mau menyerah. Aku bahkan berdiri tepat di bawahnya dan memegang kakinya yang tanpa alas kaki. Anehnya, kaki gadis itu terasa sangat dingin. Persis sepeti memegang sesuatu benda yang baru saja diangkat dari dalam kulkas. Ya, dingin sekali. Waiau Si Gadis tetap membisu, aku terus menerus memegang kakinya yang dingin. Aku tidak mau dia sampai terjun dan mati konyol menghempas tiang-tiang di bawah jembatan. Pandangan mata gadis itu terus mengarah ke air dan mukanya ditutupi oleh rambut dan syal merah yang digunakannya. Merasa lelah terus menerus membujuk wanita aneh itu, akhirnya aku menyerah. Karena kuanggap percuma akhirnya akupun berlalu meninggalkannya.
Aku merencanakan memanggil para tukang ojek yang mungkin masih ada yang mangkal di ujung jembatan, minta bantuan untuk menyelamatkan gadis aneh itu. Saat melangkah beberapa meter, tiba-tiba gadis itu berbalik memandang ke arahku. Yang lebih ajaib, dia terbang turun layaknya sepeti ayam yang turun dari tiang jemuran. Setelah itu, aku malah dikagetkan oleh tepuk tangannya yang keras keras ke punggungku yang saat itu membelakanginya. Wanita itu ternyata bertubuh langsing sekali walau mukanya tak terlihat karena ditutupi oleh rambutnya yang panjang dan syal merah yang terlipat di lehernya. Jantungku kembali berdegub kencang dan dadaku tiba-tiba terasa sesak. Jujur saja, nyali ku saat melihat rambutnya yang menutup wajah itu, membuat aku ketakutan dan nyaliku seketika menjadi kecut.
Melihat gadis aneh di hadapanku itu, aku tak kuasa menahan adrenalinku yang takut dan akupun jadi pipis di celana karena takut. Arkian, wanita bergaun putih yang kukira gila itu ternyata bukanlah manusia biasa. Sejak detik itu aku yakin bahwa dia bukan manusia yang hidup, tapi arwah gentayangan karena kulihat kakinya tidak menjejak bumi. Kaki wanita itu mengambang di atas jalan dan tidak menginjak aspal. Aku lebih takut lagi setelah melihat dia menyibak rambut dan membuka bagian mukanya. Duh Gusti, wajah gadis itu ternyata tanpa mata, tanpa hidung dan tanpa mulut. Hanya dua alis lebat menempel di bawah keningnya. "Han...tuuuu.Tolong, tolong!" teriakku sambil ngibrit, berlari. Sayang di jembatan Cisauk di atas Sungai Cisadane itu begitu sepi. Tak ada seorang pun yang lewat dan dapat memberi pertolongan dan mendekat kepadaku yang sedang ketakutan lalu memberi bantuan. Saat aku berusaha berlari sekencangnya, saat itu pula tubuhku ternyata diam di tempat. Nampaknya aku mengeluarkan tenaga besar dan secara penuh berlari, tapi pada saat itu pula aku ternyata hanya berjalan di tempat. Lariku itu ternyata di tempat yang sama dan tak bisa lebih maju sejengkal pun ke bagian depan. Sementara wanita misterius itu makin kencang tertawa cekikikan menyaksikan aku lari di tempat. Dia memang tidak mendekat dan menyerangku, hanya tertawa terpingkal, tapi aku tak bisa beranjak sedikitpun. Aku hanya dapat memalingkan pandangan ke arahnya, melihat mukanya yang seram dan menakutkan. Muka rata sepeti hantu-hantu di film The Exorsist dan The Ghost Busters. Sementara jantungku terus berdetak hebat seakan mau terlepas dari dadaku. Nafasku ngos-ngosan karena lelah beriari di tempat, sementara air pipis terus membasahi celanaku karena kengerian yang maha hebat itu.
Ada sesuatu hal yang terlupakan dariku saat itu. Alkisah, bodohnya aku, saat itu anehnya, kok aku sampai lalai berserah diri pada Allah dan membaca doa-doa minta pertolongan Tuhan, bukan lagi minta bantuan pada manusia di tengah kesunyian malam. Setelah aku ingat Allah dan meminta pertolongan-Nya dengan membaca ayat-ayat penting yang bisa kuhafal, seperti surat Al Fatihah, An Nas, Al Falaq sebagai ayat sakti mengusir roh halus, barulah aku bisa berlari dan cepat sekali lariku itu hingga tanpa disadari sampai ke rumahku di Perumahan Suradita. Kasus pertemuan ku dengan gadis yang disebut hantu jembatan Cisauk itu ternyata bukan satu-satunya yang terjadi di situ. Beberapa bulan sebelumnya, Supriyanto, pegavrai P.T. Sinarmas pusat di Jalan Thamrin, Jakarta, yang juga biasa pulang tengah malam, menemui hal yang sama. Supriyanto yang jago badminton itu juga menduga gadis itu wanita malam yang biasa mangkal di jembatan Gsauk mencari tetamu. Saat Supriyanto mendekat, terlihatlah muka gadis itu rata tanpa hidung dan tanpa mulut, Supriyanto pun terkapar pingsan di jembatan. Besok harinya Supriyanto ditemukan tukang ojek dan diselamatkan ke Puskesmas terdekat.
Tapi dua tahun lalu, laki-laki bekerja bangunan bernama Abu Kosim yang juga bertemu hantu itu, nyawanya tak bisa diselamatkan. Laki-laki yang sehari-hari bekerja di bangunan perumahan BSD itu mati tenggelam dan ditemukan dalam keadaan hancur terbentur tiang jembatan. Abu Kosim digambarkan teman baiknya, Dodi Hermano, yang saat itu berbarengan di jembatan, terlihat dilempar oleh hantu muka rata itu karena dendam. Abu Kosim disinyalir adalah salah seorang perampok dan pemerkosa gadis itu semasa dia hidup. Bahkan Abu Kosim yang berulang kali masuk penjara karena perbuatan kriminal itu, adalah salah seorang pembunuh ayah Tan Kim Nio, yaitu almarhum Tan Jin Ham.
Daerah Cisauk langsung menjadi heboh. Jembatan kembar yang sepanjang 2000 meter itu tiba-tiba menjadi sepi di atas pukul 23.00 malam setelah begitu banyak peristiwa supramistik menyangkut hantu muka rata itu. Warga menjadi takut melewati jembatan dengan berjalan sendirian. Mau jalan kaki atau naik motor di situ, tapi dilakukan secara beramai-ramai."Hantu itu bukan Cuma menakut-nakuti, tapi juga bisa membunuh. Dia melempar korban ke dasar sungai yang sangat dalam!" kata Ustadz Rachman Hasan, 59 tahun, paranormal yang tinggal di Pondok Jagung, Kota Tangerang Selatan kepadaku. Ustadz Rachman Hasan adalah guru ngajiku yang sekaligus guru spritualku yang handal. Karena didesak oleh rasa prihatin yang mendalam pada arwah korban pembunuhan dan perkosaan itu, maka Ustadz Rachman Hasan terpaksa mengajakku melakukan ritual khusus untuk menempatkan secara layak arwah gadis malang itu pada tempatnya yang semestinya.
Juga Ustad Rachman Hasan prihatin pada keadaan warga sekitar, yang sewaktu-waktu akan menjadi korban kemarahan Si Muka Rata. Beberapa hari setelah musibah yang menimpa aku, Ustadz Rahman Bin Hasan membuat pagar gaib di bawah tiang jembatan timur dengan tiga kembang, yaitu kembang melati, kantil dan kenanga. Ustadz juga menggunakan apel jin, madat Turki dan gaharu Arab dalam memanggil Si Arwah. Mula-mula aku agak miris, takut mengulang pertemuan dengan hantu itu, tapi karena aku yakin betul kemampuan Ustadz Rachman Hasan, guruku, maka aku terpaksa memberanikan diri mendampinginya saat ritual gaib itu. Pada pukul 01.30 dinihari Ustadz Rachman berhasil bertemu arwah Tan Kim Nio yang berterus terang mengaku bahwa dialah penghuni tetap jembatan Cisauk itu. Berdasarkan keterangan gaibnya, gadis yang menjadi hantu muka rata yang beringas itu adalah wanita asal Cina Daratan, Hokkian, lahir di Provinsi Fukien yang diperkosa oleh tiga jawara di Sungai Cisadane pada tahun 1978. Salah satu jawara yang dimaksud adalah Abu Kosim yang sadis. Walau Abu Kosim sudah sadar dan bekerja sebagai kuli bangunan, tapi arwah Tan Kim Nio tidak peduli, yang penting dendamnya haruslah terbalas. Kejahatan haruslah dibayar dengan kejahatan. Walaupun, hingga sampai puluhan tahun setelah kejadian peristiwa itu. Ke empat perampok dan pemerkosa Tan Kim Nio diakui bahwa semuanya sudah mati. Ada yang mati karena sakit ada yang mati karena serangan hantu Tan.
Kisahnya dulu, tanggal 11 November 1978, malam jumat kliwon, rumah Tan Kim Nio dirampok oleh tiga pemuda kekar. Salah satu pemuda itu adalah Abu Kosim yang penuh tato di dadanya. Setelah membunuh Tan Jin Ham, di depan mata Tan Kim Nio, Tan pun diperkosa bergantian. lalu dibunuh. Mukanya yang cantik dipapas menjadi rata. Hidungnya putus dan mulutnya sobek. Jasad Tan Kim Nio lalu dilemparkan ke arus Sungai Cisadane, diangkut dengan mobil colt para perampok. Begitu pula dengan jasad Tan, ayahnya, dijatuhkan ke tiang jembatan dan hancur total lalu hanyut dibawa arus sungai. Sementara tubuh gadis.malang yang perawan dan cantik itu tetap utuh di permukaan air, walau mukanya rata karena dipapas dengan golok yang tajam oleh si penjahat. Kematian gadis Tan Kim Nio dan Tan Jin Ham tahun 1978 itu tidak terdeteksi oleh pihak berwajib.
Keluarga besar Tan yang lain, tidak pula melaporkan kejadian itu pada aparat penegak hukum. Bahkan tiga bulan setelah kematian Tan, mereka kelompok she Tan itu pindah ke Kuantong, Kowloon, Hongkong. Dalam dialog dengan arwah Tan Kim Nio, Ustadz Rachman Hasan mendapat info mistik yang ternyata setelah dicheck, benar adanya. Bahwa pada tahun 1978 hari Kamis Malam, Jumat Kliwon, empat orang jawara merampok keluarga Tan di kawasan kampung Teluknaga, Kota Serpong. Setelah berhasil menjarah semua harta milik pemilik pabrik roti besar itu, empat jawara membunuh anak dan bapak sekaligus. Setelah itu, Ustadz Rachman secara baik-baik dan bijak meminta pada arwah Tan Kim Nio untuk tidak menampakkan diri lagi. Maksud permintaan Ustadz Rachman, Tan Kim Nio boleh tetap tinggal di jembatan Sungai Cisadane itu, tapi tidak boleh menampakkan diri karena hal itu akan membuat takut warga. Bagi korban yang melihat dengan jantung yang tidak kuat, bisa kaget dan jantung berhenti mendadak. Lalu mati karena takut. Ajaib, sejak ritual itu dilakukan Ustadz Rachman Hasan, Hantu Muka Rata, atau arwah Tan Kim Nio tak lagi muncul di jembatan Cisauk, walau bulan di atas Sungai Cisadane sedang Puranama 14.